Suryakencana Yang Dingin
Jarum jam baru menunjukkan pukul 9 malam. Tapi, Suhu udara di lembah Suryakencana sudah terasa sangat dingin sampai menusuk tulang. Jemari tangan dan kaki pun sudah hampir mati rasa. Tak mau menggigil kedinginan di luar, saya memutuskan untuk langsung masuk ke tenda.
Topi ushanka bercorak loreng malvinas dan Sarung tangan
tebal yang sudah saya siapkan dari jauh-jauh hari langsung saya kenakan di
kepala dan tangan. Sleeping bag yang masih terbungkus rapi di dalam tas carrier
juga saya keluarkan dengan agak tergesa untuk membungkus tubuh yang sudah mulai
kedinginan.
Tak berselang lama, rasa hangat pun mulai terasa. Menyebar
dari ujung kaki, jari tangan, sampai ke seluruh badan. Rasanya nyaman sekali.
Kombinasi rasa nyaman dan rasa capek akibat pendakian membuat kelopak mata
mulai memberat sampai akhirnya saya pun tertidur.
Tak kurang akal, saya coba menekuk telapak kaki yang sudah
kadung terasa kedinginan itu. Seperti orang yang tengah bersila sambil rebahan,
saya tempelkan telapak kaki kanan ke paha kiri dan begitu pula sebaliknya.
Seketika kaki saya langsung terasa hangat hingga saya bisa terlelap kembali.
Tak lama, saya terbangun. Lagi-lagi kaki saya terasa
kedinginan. Posisi tidur langsung saya ubah. Awalnya saya tidur telentang
sambil bersila, kali ini badan saya miringkan dan menghadap pintu tenda. Terasa
lebih nyaman dan hangat. Dan, lagi-lagi, saya berhasil tertidur. Hal ini
berulang sampai beberapa kali. Tidur, kedinginan, dan terbangun. Tidur lagi,
kedinginan lagi, dan terbangun lagi. Begitu terus.
Lama-kelamaan, saya pun menyerah. Emergency blanket yang
sudah saya siapkan di samping sleeping pad langsung saya buka. Telapak kaki
yang seakan terasa membeku akhirnya saya bungkus dengan selimut darurat
berbahan alumunium foil itu. Benar saja, setelah beberapa waktu, rasa hangat
mulai terasa, dan entah sampai berapa lama, akhirnya saya pun kembali tertidur.
Pulas sekali.
Pagi hari, ketika berjalan menuju puncak Gunung Gede, tak
sengaja saya melihat embun es di atas fly sheet sebuah tenda. Saya langsung
bergumam, "Wah, Pantas saja kalau tadi malam hawanya begitu dingin."
Gunung Gede di musim kemarau memang selalu terasa lebih
dingin. Apalagi dalam kondisi el nino seperti sekarang. Suhu dinginnya bisa
bertambah ekstrem. Bahkan, dalam kondisi tertentu bisa menghasilkan embun es
dan kristal es. Fenomena ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Gunung Gede
saja. Sebelumnya, Bromo, Merbabu, Lawu
dan beberapa gunung lain juga pernah mengalami kejadian serupa.
Tanpa perlengkapan yang memadai, tentu saja suhu udara yang
tergolong ekstrem itu bisa membahayakan dan mencelakakan para pendaki. Tapi,
para penikmat kegiatan alam bebas saat ini bisa bernafas lega karena
perlengkapan pendakian gunung saat ini sudah tersedia secara melimpah dengan
harga yang tergolong murah.
Sekarang, sudah tersedia banyak tenda dengan sistem perlindungan
dan ventilasi udara yang canggih. Sudah bertebaran pula jaket dan sleeping bag
dengan berbagai macam jenis bahan yang dapat menahan udara dingin sampai suhu
minus sekian derajat. Ditambah lagi alat penghangat instant untuk badan atau
tangan yang tersedia di pasaran secara melimpah.
Bandingkan dengan zaman dahulu, ketika perlengkapan
pendakian gunung masih sangat terbatas dan sederhana. Saat itu, hanya
segelintir orang yang bisa melakukan pendakian gunung dengan aman dan nyaman.
Apalagi suhu udara pada waktu itu cenderung lebih dingin daripada sekarang.
Dalam suratnya kepada Horsfield, misalnya, Raffless sempat
menunjukkan betapa dinginnya suhu Gede saat itu. Tahun 1815 (lebih dari 200
tahun lalu!!!), ketika melakukan pendakian ke Gunung Gede, Raffles sempat
mencatat bahwa pada jam 12 siang, suhu
udara di Gunung Gede mencapai 55 derajat Fahrenheit (F) atau 12,7 derajat
celcius (C). Sedangkan pada jam 6 sore, suhu udara lebih rendah lagi hingga
mencapai 47 derajat F atau 8 derajat C. Tak terbayang lagi suhu udara waktu
malam hari pada saat musim kemarau. Mungkin lebih dingin lagi.
Pada waktu itu, hanya pendaki "PNS" semacam
Raffles, Junghuhn, Wormser, atau Wallace yang mungkin bisa melakukan pendakian
Gunung dengan aman dan nyaman. Tak mungkin ada pendaki lokal seperti Borland,
Joe, Irwan, Masdan, Ari, Gatot, Halim, Hendra, Subur, Dave, atau Sandi.
Kalaupun ikut mendaki, status mereka kemungkinan hanya terbatas sebagai seorang
Kooli atau Porter belaka.
Sekarang, Borland, Joe, Irwan, Masdan, Ari, Gator, Halim,
Hendra, Subur, Dave, atau Sandi bisa mendaki gunung dengan merdeka. Sebuah hal
yang patut dan wajib disyukuri. Bagaimana cara mensyukurinya? tentu saja dengan
melakukan pendakian gunung lagi, lagi, dan lagi.
Jadi, kapan naik Gunung lagi?
.
0 Response to "Suryakencana Yang Dingin"
Post a Comment