Abah Yuyud dan Orang Baik yang Tersisa

Alkisah, tiga dewa yang mulai putus asa dengan kelakuan umat manusia memutuskan untuk turun dari kahyangan. Ketiganya ingin membuktikan apakah masih terdapat kebaikan yang tersisa di dunia. Setelah sekian lama berjalan, langkah ketiganya kemudian membawa mereka sampai di Kota Sichuan. Di sana, tiga dewa yang sudah terlalu lelah itu berencana untuk beristirahat dan menginap barang semalam. Wang, seorang penjual air yang mereka temui di pinggiran kota, mengantar ketiganya berkeliling dari satu rumah ke rumah lain untuk mencari tumpangan. Sayangnya, tak ada yang mau mengulurkan tangan, kecuali seorang pelacur bernama Shen Te.

Shen Te yang malam itu sudah memiliki janji dengan seorang pelanggan akhirnya lebih memilih untuk membatalkan janjinya itu. Dengan ramah, Shen Te kemudian menjamu dan menyediakan tumpangan untuk tiga dewa yang sudah terlihat kepayahan. Esok harinya, karena terkesan dengan kebaikan hati Shen Te, dan karena telah berhasil membuktikan bahwa masih terdapat orang baik yang tersisa di dunia, tiga orang dewa yang telah kembali bugar itu memberikan ribuan keping emas sebagai hadiah. Tak lupa, sebelum pergi, ketiganya berpesan agar Shen Te tetap menjadi orang baik dan menjalankan semua ajaran langit. Lalu, mereka pun angkat kaki dengan wajah sumringah.

Berbekal uang hadiah itu, Shen Te memutuskan untuk meninggalkan dunia malam yang selama ini ia geluti dan mulai merintis usaha dengan membeli warung tembakau di dekat rumah. Kondisi perekonomian Shen Te yang tiba-tiba berubah secara drastis ibarat gula-gula yang kemudian berhasil menarik minat semut-semut untuk mengerubunginya. Banyak orang yang sebelumnya tidak pernah bertegur sapa dengan Shen Te akhirnya mulai mendatangi, memeras, dan menggerecoki kehidupannya. Bahkan, lelaki yang dicintai Shen Te pun tak mau ketinggalan untuk mengambil manfaat dan keuntungan dari dirinya.

Shen Te, karena kebaikan hatinya, tak kuasa menolak dan mengusir orang-orang itu. Namun, setelah sekian lama dan setelah berkali-kali diperalat dan dimanfaatkan, Shen Te pun mulai gerah. Hanya saja, tak ada yang bisa ia lakukan. Shen Te merasa ewuh pakewuh. Ia merasa tak enakan. Untungnya, ketika bisnis tembakaunya hampir bangkrut, tiba-tiba muncul Shui Ta, sepupu laki-laki Shen Te. Shui Ta memiliki sifat dan karakter yang Jauh bertolak belakang dengan pribadi Shen Te yang terkesan naif itu. Ia berwatak tegas dan keras, bahkan --bisa dibilang, cenderung bengis dan kejam.

Menurut pengakuan Shui Ta, ia datang ke Sichuan untuk membantu sepupunya yang tengah pergi ke luar kota karena sebuah urusan. Shui Ta kemudian mengambil alih bisnis Shen Te dan mulai menyingkirkan orang-orang yang telah mengeksploitasi kebaikan hati sepupunya itu. Untuk menghadapi orang-orang berpotensi mengancam usahanya, tanpa segan Shui Ta menggunakan cara-cara licik nan culas, bahkan tak jarang pula ia sampai berani melakukam tindakan kriminal. Hasilnya, lama-kelamaan, bisnis Shui Ta semakin berkembang pesat, sampai-sampai ia berhasil membangun pabrik rokok besar dan menjadi pemain utama dalam bisnis tembakau di Kota Sichuan. 

Karena dianggap terlalu lama pergi dan tidak pernah nampak batang hidungnya, orang-orang mulai penasaran dengan keberadaan Shen Te. Banyak yang curiga kalau-kalau Shui Ta telah membunuh Shen Te demi untuk menguasai kekayaan sepupunya. Atas dasar tuduhan itu, Shui Ta kemudian ditangkap secara paksa dan dibawa ke pengadilan.

Tiga orang dewa yang penasaran dengan nasib Shen Te kembali turun ke bumi dan hadir sebagai hakim. Di hadapan mereka, Shui Ta menyampaikan pengakuan yang mengejutkan: ia, tak lain dan tak bukan, adalah Shen Te yang sedang menyamar. Tiga Dewa itu pun langsung terperangah, karena perempuan baik hati yang pernah mereka temui sebelumnya ternyata bisa berlaku kejam dan tak segan untuk melakukan tindak kejahatan. Di Akhir kisah, tak ada penghakiman untuk semua tindakan Shen Te. Tak ada pula solusi memuaskan yang ditawarkan para dewa kepada mantan pelacur itu. Ketiganya hanya memberi nasihat kepada Shen Te agar tetap berbuat baik dan tidak terlalu sering menyamar menjadi Shui Ta.

Shen Te dan Tiga Dewa dalam Der gute Mensch von Sezuan (Orang Baik dari Sichuan) yang ditulis oleh Bertolt Brecht ini bisa jadi merupakan perwujudan dari sebuah kritik sosial terhadap kapitalisme. Brecht memang seorang marxis tulen. Ia dikenal sebagai salah satu pengkritik kapitalisme yang paripurna. Dalam Der gute Mensch von Sezuan, Brecht ingin menunjukkan bahwa dalam dunia kapitalistik ini, tidak mungkin orang-orang bisa menjadi baik. Karakter Shen Te memperlihatkan dengan gamblang pandangan Brecht itu, bahwa menjadi baik di dalam dunia kapitalistik hanya akan mengantarkan orang pada jurang kehancuran. Bagi Brecht, kapitalisme dan kebaikan tidak akan pernah bisa seiring sejalan. Keduanya seolah berada pada dua kutub yang berlawanan secara diametral dan tidak akan pernah menjadi kompatibel. Karenanya, untuk bisa bertahan dalam dunia yang kejam dan sangat materialistik itu, Shen Te akhirnya menciptakan sebuah karakter kapitalistik dalam diri sepupunya yang bernama Shui Ta.

Banyak hal yang tidak saya sepakati dari pandangan Brecht itu. Namun, saya juga percaya bahwa sampai kapanpun, nilai-nilai yang dibawa oleh Shen Te dan Tiga Dewa dalam Der gute Mensch von Sezuan ini akan terus menemukan relevansinya. Saat ini, misalnya, di tengah maraknya pemberitaan dari media mainstream atau unggahan sosial media yang secara banal menampilkan kekerasan demi kekerasan dan kejahatan demi kejahatan yang semakin menggila, Shen Te beserta Tiga Dewa putus asa yang terpaksa harus kelayapan di dunia itu seolah mewakili pertanyaan mendasar yang selalu bergejolak di kepala banyak orang, “masih adakah orang baik yang tersisa di dunia?”.

Di balik pandangan yang semakin muram dan pesimistis terhadap dunia, sebenarnya tidak terlalu sulit menemukan orang baik yang masih tersisa. Kota Sichuan, tentu saja, hanyalah sebuah simbol. Ia bisa diganti dengan kota apa saja. Begitu pula dengan Shen Te. Dalam lakon yang ditulis Brecht, Shen Te, mungkin saja, hanyalah seorang tokoh rekaan belaka. Tapi, Shen Te bisa menjelma dalam diri siapapun. Ia ada di mana-mana.  

Depok, bisa jadi, adalah kota Sichuan dalam dimensi lain. Ada banyak kesamaan diantara keduanya. Andai tiga dewa dalam semesta Brecht turun dari Kahyangan dan menjejakkan kakinya di kota itu, saya bisa berpura-pura menjadi sosok wang si penjual air yang dapat memberikan petunjuk kemana ketiganya harus pergi. Sehingga, Tiga Dewa itu tak perlu capek-capek berkeliling kota untuk mengetuk pintu rumah warga satu persatu. Cukup datang ke Rumah Singgah Federal Depok (RSF), dan mereka akan menemukan semua hal yang mereka cari. Perlu jamuan? Tak usah pusing. Ada banyak persediaan makanan beserta minuman di sana. Atau, ketiganya mau sepetak kamar untuk menginap? Abah Yuyud sebagai tuan rumah RSF dengan senang hati akan menyiapkannya. Mau satu hari, seminggu, atau bahkan satu bulan pun, pintu RSF akan selalu terbuka untuk mereka.  


Abah Yuyud memang orang baik. Bahkan, dalam derajat tertentu, bisa dibilang ia sosok yang terlalu baik. Saya pertama kali mengenal Abah Yuyud ketika bersepeda menuju Cisadon. Perawakannya kecil, rambutnya banyak yang sudah memutih. Baru beberapa tahun yang lalu Ia memasuki usia pensiun. Hebatnya, meskipun sudah purna tugas dan menginjak usia senja, energinya masih melimpah. Semangatnya tak pernah padam. Karenanya, tak heran kalau jalur Cisadon yang terkenal ekstrem itu bisa ia taklukkan dengan mudah.

Tanpa mengesampingkan peran dan jasa dari yang lain, bisa dibilang, RSF ada karena Abah Yuyud. Ia lah yang “mewaqafkan” rumahnya untuk digunakan sebagai tempat singgah yang selalu terbuka bagi siapapun. Sejak pertama kali dibuka sampai dengan hari ini, sudah tidak terhitung berapa banyak musafir cum pesepeda yang telah mengukir kenangan di sana. Buat mereka, RSF telah menjadi semacam rumah kedua. Ada kenyamanan yang mereka rasakan di sana. Tak ada diskriminasi. Tidak pula ada segregasi. RSF, pada akhirnya, mampu menjadi penghubung sekaligus tempat pertemuan yang menyenangkan untuk semua kalangan. Ia menjadi miniatur dari sebuah impian tentang negara kebangsaan yang ber-bhinneka, menjadi sebuah lambang persatuan dalam keberagaman. Dan, tentu saja, Abah Yuyud punya andil besar dalam menciptakan kondisi yang menyenangkan itu.

Saya berani bertaruh, setelah merasakan kehangatan dan kebaikan Abah Yuyud, Tiga Dewa yang putus asa itu akan terpukau. Dan seandainya parameter “baik” adalah menyediakan tempat menginap serta memberikan jamuan untuk para tamu seperti apa yang dilakukan Shen Te, tentu saja Abah Yuyud telah memenuhi kriteria dasar untuk dapat disebut sebagai orang baik, sehingga ia layak mendapatkan hadiah berupa keping-keping emas dan salaka seperti yang diterima Shen Te dari para dewa.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Abah Yuyud dan Orang Baik yang Tersisa"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel