Abah Yuyud dan Orang Baik yang Tersisa
Berbekal uang hadiah itu, Shen Te
memutuskan untuk meninggalkan dunia malam yang selama ini ia geluti dan mulai merintis
usaha dengan membeli warung tembakau di dekat rumah. Kondisi perekonomian Shen
Te yang tiba-tiba berubah secara drastis ibarat gula-gula yang kemudian berhasil menarik minat semut-semut untuk mengerubunginya. Banyak orang yang sebelumnya tidak pernah
bertegur sapa dengan Shen Te akhirnya mulai mendatangi, memeras, dan menggerecoki
kehidupannya. Bahkan, lelaki yang dicintai Shen Te pun tak mau ketinggalan
untuk mengambil manfaat dan keuntungan dari dirinya.
Shen Te, karena kebaikan hatinya,
tak kuasa menolak dan mengusir orang-orang itu. Namun, setelah sekian lama dan setelah
berkali-kali diperalat dan dimanfaatkan, Shen Te pun mulai gerah. Hanya saja,
tak ada yang bisa ia lakukan. Shen Te merasa ewuh pakewuh. Ia merasa tak
enakan. Untungnya, ketika bisnis tembakaunya hampir bangkrut, tiba-tiba muncul
Shui Ta, sepupu laki-laki Shen Te. Shui Ta memiliki sifat dan karakter yang Jauh bertolak
belakang dengan pribadi Shen Te yang terkesan naif itu. Ia berwatak tegas
dan keras, bahkan --bisa dibilang, cenderung bengis dan kejam.
Menurut pengakuan Shui Ta, ia datang
ke Sichuan untuk membantu sepupunya yang tengah pergi ke luar kota karena
sebuah urusan. Shui Ta kemudian mengambil alih bisnis Shen Te dan mulai
menyingkirkan orang-orang yang telah mengeksploitasi kebaikan hati sepupunya
itu. Untuk menghadapi orang-orang berpotensi
mengancam usahanya, tanpa segan Shui Ta menggunakan cara-cara licik nan culas, bahkan tak jarang pula ia sampai berani melakukam tindakan kriminal. Hasilnya, lama-kelamaan, bisnis Shui Ta semakin
berkembang pesat, sampai-sampai ia berhasil membangun pabrik rokok besar dan
menjadi pemain utama dalam bisnis tembakau di Kota Sichuan.
Karena dianggap terlalu lama pergi
dan tidak pernah nampak batang hidungnya, orang-orang mulai penasaran dengan
keberadaan Shen Te. Banyak yang curiga kalau-kalau Shui Ta telah
membunuh Shen Te demi untuk menguasai kekayaan sepupunya. Atas dasar tuduhan
itu, Shui Ta kemudian ditangkap secara paksa dan dibawa ke pengadilan.
Tiga orang dewa yang penasaran
dengan nasib Shen Te kembali turun ke bumi dan hadir sebagai hakim. Di hadapan mereka, Shui Ta menyampaikan pengakuan yang mengejutkan:
ia, tak lain dan tak bukan, adalah Shen Te yang sedang menyamar. Tiga Dewa itu
pun langsung terperangah, karena perempuan baik hati yang pernah mereka temui
sebelumnya ternyata bisa berlaku kejam dan tak segan untuk melakukan tindak kejahatan. Di Akhir kisah, tak ada penghakiman untuk semua tindakan Shen Te. Tak
ada pula solusi memuaskan yang ditawarkan para dewa kepada mantan pelacur itu.
Ketiganya hanya memberi nasihat kepada Shen Te agar tetap berbuat baik dan
tidak terlalu sering menyamar menjadi Shui Ta.
Shen Te dan Tiga Dewa dalam Der
gute Mensch von Sezuan (Orang Baik dari Sichuan) yang ditulis oleh Bertolt
Brecht ini bisa jadi merupakan perwujudan dari sebuah kritik sosial terhadap
kapitalisme. Brecht memang seorang marxis tulen. Ia dikenal sebagai salah satu pengkritik
kapitalisme yang paripurna. Dalam Der gute Mensch von Sezuan, Brecht ingin
menunjukkan bahwa dalam dunia kapitalistik ini, tidak mungkin orang-orang bisa menjadi baik. Karakter Shen Te memperlihatkan dengan gamblang pandangan Brecht
itu, bahwa menjadi baik di dalam dunia kapitalistik hanya akan mengantarkan orang pada jurang kehancuran. Bagi Brecht, kapitalisme dan kebaikan tidak akan pernah bisa seiring sejalan. Keduanya seolah berada pada dua
kutub yang berlawanan secara diametral dan tidak akan pernah menjadi kompatibel.
Karenanya, untuk bisa bertahan dalam dunia yang kejam dan sangat materialistik
itu, Shen Te akhirnya menciptakan sebuah karakter kapitalistik dalam diri
sepupunya yang bernama Shui Ta.
Banyak hal yang tidak saya
sepakati dari pandangan Brecht itu. Namun, saya juga percaya bahwa sampai
kapanpun, nilai-nilai yang dibawa oleh Shen Te dan Tiga Dewa dalam Der gute
Mensch von Sezuan ini akan terus menemukan relevansinya. Saat ini, misalnya, di
tengah maraknya pemberitaan dari media mainstream atau unggahan sosial media yang secara banal menampilkan kekerasan demi
kekerasan dan kejahatan demi kejahatan yang semakin menggila, Shen Te beserta Tiga
Dewa putus asa yang terpaksa harus kelayapan di dunia itu seolah mewakili
pertanyaan mendasar yang selalu bergejolak di kepala banyak orang, “masih
adakah orang baik yang tersisa di dunia?”.
Di balik pandangan yang semakin muram
dan pesimistis terhadap dunia, sebenarnya tidak terlalu sulit menemukan
orang baik yang masih tersisa. Kota Sichuan, tentu saja, hanyalah sebuah
simbol. Ia bisa diganti dengan kota apa saja. Begitu pula dengan Shen Te. Dalam
lakon yang ditulis Brecht, Shen Te, mungkin saja, hanyalah seorang tokoh rekaan belaka.
Tapi, Shen Te bisa menjelma dalam diri siapapun. Ia ada di mana-mana.
Depok, bisa jadi, adalah kota
Sichuan dalam dimensi lain. Ada banyak kesamaan diantara keduanya. Andai tiga dewa dalam semesta Brecht turun dari
Kahyangan dan menjejakkan kakinya di kota itu, saya bisa berpura-pura menjadi sosok wang si penjual air yang dapat memberikan petunjuk kemana ketiganya harus pergi. Sehingga, Tiga Dewa itu tak perlu capek-capek
berkeliling kota untuk mengetuk pintu rumah warga satu persatu. Cukup datang ke
Rumah Singgah Federal Depok (RSF), dan mereka akan menemukan semua hal yang
mereka cari. Perlu jamuan? Tak usah pusing. Ada banyak persediaan makanan
beserta minuman di sana. Atau, ketiganya mau sepetak kamar untuk menginap? Abah
Yuyud sebagai tuan rumah RSF dengan senang hati akan menyiapkannya. Mau satu
hari, seminggu, atau bahkan satu bulan pun, pintu RSF akan selalu terbuka untuk
mereka.
Tanpa mengesampingkan peran dan jasa dari yang lain, bisa dibilang, RSF ada karena Abah Yuyud. Ia lah yang “mewaqafkan” rumahnya untuk digunakan sebagai tempat singgah yang selalu terbuka bagi siapapun. Sejak pertama kali dibuka sampai dengan hari ini, sudah tidak terhitung berapa banyak musafir cum pesepeda yang telah mengukir kenangan di sana. Buat mereka, RSF telah menjadi semacam rumah kedua. Ada kenyamanan yang mereka rasakan di sana. Tak ada diskriminasi. Tidak pula ada segregasi. RSF, pada akhirnya, mampu menjadi penghubung sekaligus tempat pertemuan yang menyenangkan untuk semua kalangan. Ia menjadi miniatur dari sebuah impian tentang negara kebangsaan yang ber-bhinneka, menjadi sebuah lambang persatuan dalam keberagaman. Dan, tentu saja, Abah Yuyud punya andil besar dalam menciptakan kondisi yang menyenangkan itu.
Saya berani bertaruh, setelah merasakan kehangatan dan kebaikan Abah Yuyud, Tiga Dewa yang putus asa itu akan terpukau. Dan seandainya parameter “baik” adalah menyediakan tempat menginap serta memberikan jamuan untuk para tamu seperti apa yang dilakukan Shen Te, tentu saja Abah Yuyud telah memenuhi kriteria dasar untuk dapat disebut sebagai orang baik, sehingga ia layak mendapatkan hadiah berupa keping-keping emas dan salaka seperti yang diterima Shen Te dari para dewa.
0 Response to "Abah Yuyud dan Orang Baik yang Tersisa"
Post a Comment