Cisadon: Mau dibawa Kemana?
Kalau kita coba buka ponsel, masuk ke laman pencarian google, lalu mengetik kata kunci semacam “Dusun Cisadon”, “Kampung Cisadon”, “Trekking Cisadon”, “Kopi Cisadon”, “Gowes Cisadon”, atau kata kunci lain yang menggunakan kata “Cisadon”, kita akan menemukan banyak sekali catatan atau referensi terkait dusun eksotis yang berlokasi agak terpencil ini. Akan tetapi, catatan-catatan tersebut mayoritas hanya memuat ulasan mengenai Dusun Cisadon dari sisi pariwisata, kopi, akses jalan, pasokan listrik, atau kondisi sosial, ekonomi, dan pendidikannya saja. Sangat jarang sekali, atau bahkan boleh dibilang tidak ada catatan yang membahas Cisadon dari sisi status lahannya.
Padahal, pembahasan mengenai
status lahan Dusun Cisadon ini penting, karena kejelasan terkait status lahan
yang ditempati oleh masyarakat Cisadon saat ini akan sangat berpengaruh
terhadap peri kehidupan masyarakat Cisadon kedepannya. Dalam kondisi ideal,
status lahan tersebut biasanya dibuktikan dengan adanya dokumen kepemilikan tanah
atau perizinan pemanfaatan lahan. Tanpa adanya salah satu dari dua dokumen itu,
potensi munculnya permasalahan dalam bentuk kriminalisasi/konflik pertanahan
sangatlah besar, sehingga dapat merugikan masyarakat Cisadon itu sendiri.
Selayang Pandang dan Sejarah Dusun Cisadon
Selain kedua jalur utama tersebut, sebenarnya masih terdapat beberapa jalur lain untuk mencapai Dusun Cisadon ini, misalnya jalur dari Rawa Gede atau dari Leuwi Hejo. Namun jalur-jalur tersebut lebih sulit untuk ditempuh karena kondisi jalannya yang sempit, terjal, dan cenderung masih tertutup vegetasi hutan yang cukup rapat.
Meskipun akses jalannya tergolong buruk, nyatanya sampai saat ini Cisadon tidak pernah gagal dan selalu mampu menarik minat orang-orang luar untuk terus berkunjung kesana. Setiap akhir pekan, banyak orang, entah itu tua, muda, laki-laki, perempuan, atau bahkan anak-anak yang berbondong-bondong menuju Cisadon dengan berbagai macam alasan. Salah satu alasan yang membuat Cisadon seolah memiliki daya tarik yang luar biasa adalah kondisi alamnya yang masih asri, suasananya yang masih tradisional, serta tantangan yang ditawarkan oleh kondisi jalurnya yang tergolong berat. Sehingga, penggemar olahraga trekking atau penikmat aktivitas outdoor tidak akan pernah melewatkan Cisadon sebagai salah satu tujuan untuk menyalurkan hobi nya.
Alasan lainnya tentu saja adalah
Kopi. Sejak lama Cisadon memang terkenal sebagai penghasil Kopi Luwak Robusta
dari luwak liar dengan kualitas yang baik. Bagi para penggemar dan penikmat
kopi, kondisi jalan yang cukup berat menuju Dusun Cisadon bisa dikatakan bukanlah
tantangan yang berarti, karena ketika sampai Cisadon, rasa capek, lelah, serta peluh yang
mengucur sepanjang perjalanan akan terbayarkan oleh pengalaman minum kopi
dengan aroma yang khas dan tentunya dengan rasa yang sangat nikmat.
Memang harus diakui bahwa eksistensi
Dusun Cisadon tidak bisa dilepaskan dari tanaman kopi. Dalam istilah lain, boleh
dibilang Dusun Cisadon ada karena kopi. Tanpa tanaman kopi, perkampungan
Cisadon barangkali tidak akan pernah ada. Dari hasil obrolan singkat dengan
beberapa warga di Dusun Cisadon, Tanaman Kopi di Cisadon mulai ditanam sejak
era Kolonial Belanda. Sejak saat itu, secara turun temurun tanaman kopi tetap
dibudidayakan di Cisadon hingga sekarang. Bedanya, varian kopi yang
dibudidayakan saat itu berjenis Arabica. Namun, dengan pertimbangan teknis dan
ekonomis, saat ini warga lebih memilih untuk membudidayakan kopi dengan varian
Robusta saja.
Yang menarik, terdapat versi lain
mengenai sejarah Cisadon ini. Irvan Hidayat, misalnya, sempat mencatat bahwa berdasarkan
hasil obrolannya dengan salah satu sesepuh Dusun Cisadon, perkebunan kopi
di Cisadon baru dibuka sejak tahun 1983 oleh sepasang suami istri (Ibu Nini
(nama samaran) dengan almarhum suaminya). Bersamaan dengan pembukaan lahan
untuk perkebunan kopi itu, mulai tumbuh pula permukiman warga di Cisadon. Masih
menurut Irvan Hidayat, awalnya permukiman warga tersebut memang hanya berupa
saung-saung sederhana sebagai tempat berteduh petani kopi. Namun, seiring
berjalannya waktu, saung-saung tersebut kemudian tumbuh dan berkembang menjadi
permukiman dengan bangunan yang permanen seperti sekarang.
Kedua versi mengenai sejarah
Dusun Cisadon tersebut memang terlihat berbeda, namun bisa jadi tidak
bertentangan karena mungkin perbedaannya hanya dari aspek pembabakan waktunya
saja. Dalam artian bahwa pembukaan lahan untuk perkebunan kopi mungkin saja memang
bermula sejak era kolonial. Namun, karena alasan tertentu, perkebunan kopi tersebut
kemudian ditelantarkan. Setelah sekian tahun terlantar dan ditinggalkan, akhirnya
pada Tahun 1983 terdapat beberapa orang yang “membuka kembali” lahan untuk perkebunan
kopi di Cisadon, dan sebagai implikasinya mulai tumbuh permukiman warga di
sekitarnya.
Status Lahan Dusun Cisadon
Sebelumnya perlu kita pahami terlebih dahulu bahwa secara umum, wilayah Indonesia dapat dibagi dalam dua kategori besar; wilayah darat dan wilayah perairan. Untuk wilayah darat sendiri, statusnya terbagi menjadi dua, yaitu Kawasan Hutan dan Area Penggunaan Lain. Sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan, pemanfaatan lahan di kawasan hutan tidak dapat dilakukan melalui penerbitan sertipikat hak atas tanah. Bahkan, penerbitan sertipikat hak atas tanah di dalam kawasan hutan masuk dalam kategori tindakan penyalahgunaan wewenang yang dapat diancam dengan hukuman pidana. Sebaliknya, di Area Penggunaan Lain (pada gambar di atas ditunjukkan dengan warna putih), dapat diterbitkan sertipikat hak atas tanah sebagai bukti otentik pemilikan, pemanfaatan, atau penggunanaan tanah.
Apabila lahan berada di dalam
kawasan hutan, seperti dalam konteks Dusun Cisadon ini, maka mekanisme
pemanfaatan/penggunaan lahannya hanya dapat dilakukan setelah dilakukan proses
pelepasan kawasan hutan (konversi/mengubah status kawasan hutan menjadi area
penggunaan lain) atau melalui skema perizinan. Artinya, setiap kegiatan
pemanfaatan/penggunaan lahan di dalam kawasan hutan seperti pembangunan rumah,
warung, pembukaan lahan untuk perkebunan, wajib dilakukan setelah selesainya
proses konversi lahan atau berdasarkan perizinan yang diterbitkan oleh instansi
yang berwenang. Tanpa adanya perizinan, pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh
warga masyarakat dianggap ilegal dan perbuatan tersebut dapat dipidana.
Berdasarkan catatan di atas,
paling tidak dapat diajukan dua pertimbangan utama kenapa perhatian terhadap
aspek status lahan Dusun Cisadon ini penting. Pertama, kepastian terkait legalitas
pemanfaatan hutan dapat mengeliminasi potensi kriminalisasi terhadap warga
masyarakat Dusun Cisadon, sehingga kehidupan dan kegiatan usaha masyarakat bisa
dilakukan dengan tenang dan aman. Kedua, kepastian terkait status lahan juga
dapat menghapus kekhawatiran terhadap kemungkinan munculnya perusahaan besar
yang mengusahakan lahan di sana karena telah mengurus dan mendapatkan perizinan
pemanfaatan kawasan hutan, sehingga mengakibatkan masyarakat yang sudah lama
tinggal dan menggarap lahan akhirnya malah terpinggirkan dan bahkan terusir.
Perlu digarisbawahi bahwa
pengelolaan kawasan hutan di Provinsi Jawa Barat untuk saat ini didelegasikan
kepada Perum Perhutani (kedepan, skema ini akan diubah melalui pembagian
kewenangan pengelolaan kawasan hutan antara Pemerintah dengan Perum Perhutani
melalui penetapan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus). Dalam melaksanakan
pengelolaan hutan ini, Perum Perhutani dapat menjalin kerjasama dengan masyarakat
yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan melalui kemitraan kehutanan.
Bentuk kemitraan kehutanan ini bisa beragam, misalnya pengusahaan pariwisata
oleh masyarakat melalui pengelolaan wisata alam, pembangunan camping ground, atau budidaya tanaman
dalam bentuk agroforestry. Dalam
konteks Dusun Cisadon ini, perkebunan kopi yang diusahakan oleh warga mungkin
saja telah memenuhi aspek legalitas karena sebelumnya telah ada kerjasama
dengan Perum Perhutani. Namun, ketika saya mencoba mengakses basis data kemitraan
kehutanan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), belum
terdapat data untuk wilayah Dusun Cisadon. Ketiadaan data ini dapat berarti dua
hal; Pertama, memang belum ada kemitraan kehutanan di wilayah Dusun Cisadon,
atau yang kedua, sudah ada kemitraan kehutanan namun belum tercatat dalam basis
data KLHK.
Apapun itu, yang patut disyukuri,
saat ini, Indonesia telah memiliki instrumen hukum yang cukup memadai untuk melindungi
hak-hak masyarakat melalui mekanisme penyelesaian penguasaan tanah dalam
kawasan hutan seperti dalam kasus Dusun Cisadon ini. Penyelesaian penguasaan
tanah ini menjadi solusi untuk memberikan legalitas/kepastian hukum terkait
status lahan yang dikuasai dan telah dimanfaatkan oleh warga masyarakat Dusun
Cisadon untuk permukiman dan perkebunan kopi. Syarat utamanya adalah lahan telah
dikuasai oleh orang-perorangan secara fisik dengan iktikad baik secara terbuka minimal
5 (lima) tahun secara berturut-turut dengan luasan maksimal 5 (lima) hektar.
Apabila dilihat dari citra
satelit sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini, nampak bahwa pada Tahun
2006 (potret citra satelit paling awal yang bisa didapatkan), perkampungan
Cisadon memang sudah eksis namun mayoritas masih berupa hamparan lahan dengan
satu dua bangunan saja. Di sekitar lahan tersebut tersebar bangunan-bangunan
lain yang berjarak agak berjauhan (bisa diperkirakan sebagai saung atau rumah
penduduk juga). Pemanfaatan lahan secara massif untuk permukiman baru terlihat
mulai dilakukan sejak Tahun 2012. Berdasarkan potret time series dari citra satelit ini, dapat dilihat bahwa keberadaan
permukiman di Dusun Cisadon (khusus di lokasi yang ditandai) sudah melewati batas
minimal masa pengusaan selama 5 (lima) tahun sebagai persyaratan penyelesaian
penguasaan tanah dalam kawasan hutan.
Karena Dusun Cisadon berada pada kawasan hutan dengan fungsi Hutan Produksi Tetap (lihat kembali hasil tumpang susun pada peta kawasan hutan di atas), maka sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, mekanisme penyelesaiannya dilaksanakan dengan beberapa skema berdasarkan pada dua kondisi. Kondisi pertama terpenuhi apabila luas kawasan hutannya telah mencukupi batas kecukupan minimal yang harus dipertahankan. Dalam kondisi ini, penguasaan tanah oleh masyarakat dalam bentuk permukiman warga dapat diselesaikan dengan mekanisme perubahan batas kawasan hutan. Apabila telah dilakukan proses perubahan batas kawasan hutan, status lahan berubah dari kawasan hutan menjadi area penggunaan lain, sehingga dapat diterbitkan sertipikat hak atas tanah untuk masyarakat. Untuk penguasaan tanah dalam bentuk perkebunan (termasuk perkebunan kopi), terdapat persyaratan tambahan, yaitu jangka waktu minimal penguasaan tanah selama 20 Tahun. Dalam hal tanah untuk perkebunan telah dikuasai secara berturut-turut selama 20 Tahun atau lebih, penyelesaian penguasaan tanah dilakukan dengan skema yang sama dengan permukiman, yaitu dengan perubahan batas kawasan hutan. Sedangkan apabila penguasaan tanahnya kurang dari 20 Tahun, proses penyelesaiannya dilakukan dengan skema Perhutanan Sosial.
Kebalikan dari kondisi pertama,
kondisi kedua terpenuhi apabila luas kawasan hutannya kurang dari batas
kecukupan minimal yang harus dipertahankan. Dalam kondisi ini, penguasaan tanah
oleh masyarakat dalam bentuk permukiman warga dapat diselesaikan dengan
mekanisme pelepasan kawasan hutan atau penggunaan kawasan hutan. Apabila
penyelesaian dilakukan dengan skema pelepasan kawasan hutan, status lahan juga
akan berubah dari kawasan hutan menjadi area penggunaan lain, sehingga dapat
diterbitkan sertipikat hak atas tanah untuk masyarakat. Namun, ketika
penyelesaian dilakukan dengan skema penggunaan kawasan hutan, status lahan
tetap sebagai kawasan hutan dan tidak dapat diterbitkan sertipikat hak atas
tanah di atasnya. Meskipun demikian, tanpa penerbitans ertipikat hak atas
tanahpun, dengan adanya keputusan persetujuan penggunaan kawasan hutan, status
permukiman warga telah memenuhi aspek legalitasnya. Untuk penguasaan tanah
dalam bentuk perkebunan (termasuk perkebunan kopi), dalam kondisi ini, tidak
terdapat persyaratan tambahan berupa jangka waktu minimal penguasaan atas tanah
sealama 20 tahun, dan proses penyelesaiannya dilakukan hanya dengan skema
Perhutanan Sosial.
Untuk menentukan skema mana yang
dapat diterapkan dalam konteks Dusun Cisadon, perlu dipastikan dulu kondisi
serta ketentuan terkait kecukupan kawasan hutan yang berlaku. Sebelumnya,
sesuai ketentuan Undang-Undang Kehutanan, batas kecukupan minimal kawasan hutan
yang harus dipertahankan adalah 30% dari luas daerah aliran sungai (DAS) atau
luas pulau. Namun, saat ini, Pasca ditetapkannya Undang-Undang Cipta Kerja,
terdapat perubahan terkait batas kecukupan minimal kawasan hutan yang harus
dipertahankan, di mana penetapan batas kecukupan minimal dilakukan oleh Menteri
LHK berdasarkan kondisi fisik dan geografis dari DAS dan/atau pulau. Sehingga
persentase untuk masing-masing pulau bisa berbeda.
Sayangnya, saat ini batas
kecukupan minimal kawasan hutan yang harus dipertahankan di provinsi Jawa Barat
belum ditetapkan dan masih mengacu pada batasan yang lama, yaitu 30% dari luas
DAS dan/atau pulau. Sehingga, apabila merujuk pada kondisi terakhir di mana
luas kawasan hutan di jawa hanya sekitar 20 an persen dari luas DAS dan/atau
pulau, maka dalam konteks penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan
untuk Dusun Cisadon, kondisi yang terpenuhi adalah luas kawasan hutannya kurang
dari batas kecukupan minimal yang harus dipertahankan. Sehingga, skema yang
dapat dipakai adalah pelepasan kawasan hutan atau penggunaan kawasan hutan
untuk permukiman dan perhutanan sosial untuk perkebunan kopi.
Penyelesaian dalam bentuk perhutanan sosial ini dilakukan dengan tetap mempertahankan status kawasan hutan, di mana masyarakat hanya diberikan akses legal dalam jangka waktu tertentu untuk melakukan pemanfaatan kawasan hutan. Terdapat lima bentuk akses legal perhutanan sosial ini; Pertama adalah Hutan Desa, kedua Hutan Tanaman Rakyat, ketiga Hutan Kemasyarakatan, keempat Hutan Adat, dan yang kelima atau yang terakhir adalah kemitraan kehutanan. Bentuk perhutanan sosial yang paling sesuai untuk diterapkan di Dusun Cisadon adalah Hutan Kemasyarakat melalui skema Agroforestry tanaman kopi. Tidak hanya selesai pada pemberian akses legal saja, penyelesaian dengan skema perhutanan sosial ini akan diikuti pula dengan pemberdayaan masyarakat melalui pembentukan kelompok usaha perhutanan sosial.
Jadi, Cisadon mau dibawa ke mana?
0 Response to "Cisadon: Mau dibawa Kemana?"
Post a Comment