Milana Birru Dhyana

Masyarakat dayak bidayuh yang hidup di kawasan perbatasan Indonesia Malaysia, terutama mereka yang tinggal di kampung Punti Tapau dan Punti Meraga kecamatan Entikong, punya cara yang cukup unik untuk menamai anaknya.

Samou (Bapak) Kiyong, misalnya, Induk Semang saya semasa Kuliah Kerja Nyata di Perbatasan Entikong ini, mendapatkan nama uniknya itu dari cuitan seekor burung. Ceritanya, sewaktu menjalani proses persalinan di rumah seorang dukun bayi, Ibu Samou Kiyong sempat mendengar cuitan burung dengan bunyi "Kiyong ... Kiyong ... Kiyong ..." yang berasal dari atap rumah. Karena terkesan dengan bebunyian yang ia dengar secara berulang-ulang itu, jadilah bayi yang baru saja ia lahirkan disebut dengan panggilan, Kiyong.

Lain hal nya dengan bapak Sutarno, kepala desa kami di sana. Meskipun namanya terkesan “Njawani”, Pak Tarno sebenarnya adalah keturunan dayak asli dari bapak dan ibu yang juga memiliki darah dayak murni. Gelar jawanya itu diilhami dari nama seorang anggota TNI yang waktu itu ditugaskan untuk mengamankan perbatasan Entikong agar tidak terkena imbas “geger pecinan” yang sedang merajalela di serawak.

Karena intensitas pertemuan antara orang tua pak Tarno dengan prajurit itu cukup tinggi, dan karena kesannya yang begitu mendalam terhadap kepribadian “Sutarno tua”, maka, ketika istrinya dikemudian hari melahirkan bayi laki-laki, nama prajurit yang pernah ia kenal itu akhirnya diabadikan menjadi nama anak kandungnya. Dan, jadilah bayi kecil yang sekarang menjadi Kepala Desa di Kampung Perbatasan itu bernama Sutarno.

Meskipun perantara yang menjadi dasar penamaan mereka berbeda, Pak Tarno ataupun Samou Kiyong sebenarnya mendapatkan namanya itu dari sebab yang sama, yaitu dari kesan mendalam orang tua mereka terhadap fenomena tertentu. Fenomena tertentu ini dapat berupa Tumbuhan, Benda, Rasa, Suasana, Manusia, ataupun Fauna. Orang tua Pak Tarno, tentu saja, terkesan dengan kepribadian seorang manusia yang tercermin dari sosok Prajurit bernama Sutarno, sedangkan Orang Tua Samou Kiyong pada saat itu terkesan dengan bunyi yang dihasilkan dari cuitan seekor Fauna. 

Apabila ditelusuri lebih lanjut, sebenarnya, sebab yang menjadi dasar penamaan anak seperti yang terjadi dalam kasus Samou Kiyong dan Pak Tarno di atas merupakan fenomena umum yang dapat kita temui dengan sangat mudah dalam kehidupan sosial kita saat ini. Seorang Ibu yang terkesan dengan sosok Muhammad dan berharap anaknya di kemudian hari memiliki kepribadian seperti idolanya itu, cenderung akan memberikan nama Muhammad kepada anak laki-lakinya. Orang Tua Gajah Mada, Lembu Sora, Bagus Handaka, ataupun Kebo Anabrang pun juga memiliki alasan serupa ketika harus memilihkan nama untuk anak-anaknya. Tentu mereka memiliki kesan personal yang cukup mendalam terhadap hewan-hewan itu dan berharap bahwa anaknya kelak dapat menjadi Ksatria Tanggon Tangguh dengan kekuatan sebesar Gajah, Lembu, Banteng, atau Kerbau. Hal ini berlaku pula untuk nama-nama seperti Oryza Sativa, Annona Squamosa, Cammelia Sinensis, Salvinia Natans, Senja Ananda, Gembira Anastasia, dan sebagainya.

Saya dan Rina juga tak jauh beda. Entah kapan tepatnya, yang jelas, pada sebuah siang yang terik, saat Rina meminta rekomendasi Buku untuk ia baca, saya langsung menyodorkan antologi cerita pendek tulisan Bernard Batubara yang berjudul Milana. Tidak ada alasan spesial kenapa saya memilihkan buku itu, kecuali karena bentuk bukunya yang cenderung kecil dan tipis sehingga lebih cepat dikhatamkan. Tak dinyana, buku Milana itu pun pada akhirnya berhasil meninggalkan kesan yang mendalam di benak Rina.

Kesan yang sama pernah saya rasakan pula ketika membaca penjelasan Thabathaba’i tentang kata al Birru pada ayat 2:177. Dalam Kitab Tafsir Al Mizan, Thabathaba’i menyatakan bahwa kata al Birru dalam ayat tersebut mencakup tiga aspek Kebaikan yang paripurna, yaitu iman, amal, dan moral (Lihat Tafsir Al Mizan, Jilid 2 hlm. 413-421). Memang, secara harfiah, kata al Birru sendiri memiliki makna Kebaikan. Yang menarik, istilah kebaikan ini, dalam konteks bahasa Indonesia, hanya memiliki satu makna. Sehingga, jangan heran apabila taat dan patuh kepada orang tua, memberi makan orang fakir, bertaqwa kepada Tuhan, membantu tetangga yang kesusahan, menjaga perkataan, atau berbuat adil kepada siapapun, sama-sama disebut dengan istilah kebaikan. Padahal, dalam bahasa Arab, perbuatan-perbuatan itu disebut dengan istilah yang berbeda, karena masing-masing memiliki tingkatan kebaikan yang berbeda pula.

Dalam Al Qur’an, konsep Kebaikan disebut dengan berbagai macam istilah, seperti al Khair, al Thayyib, al Ma’ruf, al Hasan, al Shalih, dan al Birru. Meskipun sama-sama bermakna Kebaikan, namun Keenam istilah itu berada pada tingkatan yang berbeda dan digunakan dalam kategori yang berbeda pula. Emha Ainun Najib, misalnya, membagi kebaikan dalam tiga tingkatan. Tingkatan pertama adalah Kebaikan universal yang didasarkan pada dalil-dalil keagamaan atau dalam hal ini dapat disebut dengan istilah Kebaikan Teoretis. Tingkatan Kedua adalah Kebaikan yang sudah melalui pembuktian-pembuktian nyata dalam kehidupan atau disebut pula dengan istilah kebaikan Empiris. Sedangkan tingkatan paling puncak adalah kebaikan-kebaikan yang sudah menjadi endapan atau sublimasi dari kebaikan teoretis maupun empiris yang disebut dengan istilah kebaikan Kontemplatif. Masih menurut Emha, dalam al Qur’an, kebaikan teoretis disebut dengan istilah al Khair. Kebaikan Empiris disebut al Ma’ruf. Sedangkan Kebaikan Kontemplatif disebut dengan istilah al Birru.

Untuk kebaikan teoretis atau al khair ini, karena dasarnya adalah dalil-dalil keagamaan yang masih bersifat problematis, dalam artian ada yang menerima atau meyakini, dan ada pula yang menyangkal atau menolak, maka pelaksanaannya tidak boleh dilakukan dengan paksaan, tapi harus dilakukan dengan ajakan atau anjuran. Karena itu, istilah yang digunakan untuk pelaksanaan kebaikan jenis ini adalah yad’una ila al khair atau mengajak kepada kebaikan.

Berbeda halnya dengan kebaikan empiris atau al ma’ruf, karena jenis kebaikan ini sudah menjadi konsensus bersama sehingga tidak ada seorang pun yang  akan mengingkari status kebaikannya, maka pelaksanaannya harus dilakukan dengan perintah atau suruhan, atau dalam bahasa al Qur’an disebut dengan istilah ya’muruna bi al ma’ruf (menyuruh kepada kebaikan).

Khusus untuk kebaikan kontemplatif atau al Birru, istilah yang dipakai adalah gotong royong, atau dalam bahasa al Qur’an disebut dengan ta’awanu ‘ala al Birri (tolong menolong dalam hal kebaikan). Cakupan kebaikan jenis ini dapat dirujuk kembali pada ayat 2:177, di mana al Birru meliputi iman kepada Allah, hari kemudian, para malaikat, kitab-kitab, para nabi; dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang dalam perjalanan yang memerlukan pertolongan, dan orang yang meminta-minta; dan orang yang memerdekakan hamba sahaya, dan melaksanakan shalat dengan sempurna, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janji mereka apabila berjanji; dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Cakupan inilah yang menurut Thabathaba'i membuat istilah al Birru sepadan dengan iman, amal, dan moral.

Selain pada al Birru, kesan serupa juga saya rasakan ketika membaca serial Supernovanya Dewi Lestari, terutama ketika sampai pada penjelasan tentang Dhyana (baca: dayana), salah satu tahapan atau tingkatan dalam praktik Yoga. Agak sulit untuk menjelaskan makna dari istilah Dhyana ini. Karena itu, untuk memudahkannya, sebut saja Dhyana itu sebagai akronim dari suku kata kedua Masdan dan Rina.

Dan, ya, dari sana, dari kesan-kesan kami yang terakumulasi itu, hari ini, tepat pada hari ketujuh kelahirannya, akhirnya Putri kedua kami itu kami beri nama Milana Birru Dhyana. Untuk menyederhanakannya, kami memanggilnya Mili. wallahu a'lam

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Milana Birru Dhyana"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel