Sekolah Mili
Selasa pagi ini, sekolah Mili terlihat semarak. Untaian Bendera merah putih berukuran kecil masih berkibar di langit-langit sekolah, berpadu serasi dengan warna hijau dari rumput sintetis yang menutupi lantai taman. Anak-anak juga nampak ceria dalam balutan seragam dwi warna. Mili sendiri, dari foto yang dikirimkan gurunya lewat aplikasi Whatsapp, terlihat tengah berbaris rapi di dekat pagar bersama keempat temannya. Tangan kanan mereka memegang satu buah pisang, sedangkan kelopak Mata kelimanya ditutup dengan kain selendang berwarna kebiruan.
Awalnya, saya menduga kalau Mili sedang mengikuti perlombaan mengupas buah seperti tahun lalu. Tapi, belakangan, berdasarkan penuturan Mili seusai sekolah, baru saya ketahui kalau ia sedang berlomba menyuapkan buah ke mulut temannya. Perlombaan ini menjadi satu rangkaian kegiatan dengan pawai kemerdekaan yang diselenggarakan hari Sabtu sebelumnya. Bedanya, pawai kemerdekaan ditujukan untuk anak beserta keluarganya, sedangkan perlombaan ini hanya dapat diikuti siswa-siswi saja.
Saya ingat betul, setahun lalu, sebelum akhirnya berlabuh di sekolahan ini, kami sempat disibukkan dengan urusan pilah pilih sekolah untuk putri kecil kami Mili. Proses pencariannya pun memakan waktu lumayan lama, karena urusan mencari sekolah anak untuk usia dini ini bisa dibilang gampang-gampang susah. Dibilang gampang karena kriteria sekolah yang kami incar sebenarnya tidak muluk-muluk amat. Tapi, bisa juga disebut susah karena jumlah sekolah dengan kriteria yang kami inginkan di sekitar lingkungan tempat tinggal kami sepertinya tidak terlalu banyak.
Yang pasti, prinsip kami dalam mencari sekolah untuk anak ini sederhana saja. Pertama, kami ingin sekolahan Mili nanti bisa mengenalkan Mili dengan indahnya akhlak dan kasih sayang dalam islam. Ini penting, karena saya sempat bergidik mendengar cerita seorang teman (satu kantor dan satu kelurahan) yang anaknya sering didoktrin dengan ajaran agama yang begitu keras dari sekolah. Padahal, usianya masih sangat sangat belia. Sungguh menyedihkan.
Kedua, kami berangan-angan bahwa sekolahan Mili nantinya bisa menjadi taman sekaligus teman untuk bermain dan belajar sesuai dengan fitrahnya sebagai seorang anak-anak. Bisa mengajak dan membebaskan Mili untuk bernyayi dengan gembira. Bisa memfasilitasi dan menemaninya untuk menggambar, mewarnai, atau melukis dengan bebasnya. Serta bisa mengingatkan, mendukung, dan menenangkan Mili ketika tubuhnya jatuh akibat kecerobohan, kelalaian, atau kenakalannya.
Ketiga, dan ini yang paling utama, kami berharap sekolah Mili bisa menjadi wahana untuk mengenalkannya pada islam dan indonesia secara bersamaan. Kenapa? karena kami sadar dan yakin bahwa beragama dan berbangsa merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keduanya harus disebut dalam satu tarikan nafas. Karenanya, dalam konteks ini, kami punya keinginan bahwa sekolah Mili nantinya adalah sekolah yang tidak hanya mengajarinya Sholawatan, tetapi juga mengajaknya untuk menyanyikan lagu kebangsaan. Sekolah Mili adalah sekolah yang mampu mendidiknya dan memberikannya dasar-dasar atau prinsip hidup agar Mili dapat tumbuh dengan kesadaran bahwa ia adalah --meminjam ungkapan Gus Mus-- orang indonesia yang beragama islam, bukan orang islam yang kebetulan dilahirkan dan tinggal di Indonesia.
Prinsip-prinsip untuk memilih sekolah anak ini bagi kami sangat penting dan menempati posisi yang krusial, karena pendidikan di usia dini memiliki pengaruh paling kuat dalam membentuk karakter dan pandangan seorang anak terhadap dunia. Untungnya, saat ini, Mili sudah berada pada lingkungan dan sekolah yang tepat. Sekolah yang mungkin tidak memiliki akreditasi formal dengan status disamakan, diakui, atau disetarakan. Tapi, tak apa. Karena bagi kami, yang paling penting, sekolah Mili telah memiliki akreditasi sendiri, yaitu "Diridhoi".
0 Response to "Sekolah Mili"
Post a Comment