Marin Keshwari Nurindraduhita

Ternyata, dunia dengan segala macam pernak-perniknya ini memang serba Birokratis. Banyak Tahapan atau Prosedur yang harus dilewati atau ditempuh untuk sebuah urusan. Untuk urusan nama dan penamaan saja, misalnya, aku harus menunggu sampai usia 7 hari sejak masa kelahiran untuk memperoleh sebuah identitas yang biasa disebut dengan istilah nama itu. Ribet? Tentu saja. Tapi, prosedur Adat ini sebenarnya bisa saja tidak diikuti. Toh, hal ini juga bukan sebuah kewajiban yang jika ditinggalkan akan memiliki konsekwensi besar serupa dengan Dosa.
Andai saja Bapak dan Ibuk memiliki nyali lebih besar, tentu dengan serta merta mereka akan memberikanku nama sedetik setelah aku dilahirkan. Aku berani berkata demikian, karena dari sorot mata mereka saat itu, aku melihat bahwa Bapak dan Ibuk sangat antusias dengan kehadiranku di dunia. Mereka pasti juga memiliki antusiasme yang sama untuk segera memanggilku dengan sebuah nama. Tapi, apa mau dikata, kenyataan berkata sebaliknya. Ada beberapa hal yang nyatanya harus dikompromikan terlebih dahulu, sehingga, kemerdekaan dan kebebasan Bapak dan Ibuk terkait penamaan terhadap anaknya sendiripun harus takluk terhadap tekanan dari luar diri mereka sebagai hasil dari proses Kompromi itu.
Dari pengalaman bapak dan ibuk itu, aku mulai sadar, meskipun orang-orang bilang bahwa manusia itu tercipta (Konstitusi US) atau terlahir (DUHAM) bebas, nyatanya tetap saja ada beberapa hal yang harus diterima secara taken for granted alias harus diterima apa adanya, tanpa bisa memilih, tanpa bisa menawar. Misalnya saja, sebagai bayi yang baru lahir seperti aku, kalian tidak akan bisa secara bebas untuk menentukan dari keluarga mana atau dari Rahim siapa kalian akan dilahirkan. Tak ada istilah meminta atau memilih orang tua, karena tiba-tiba saja, setelah kalian sadari, kalian sudah terlahir kedunia, dan tiba-tiba saja kalian sudah berada di lingkungan sosial yang dikemudian hari akan kalian sebut sebagai keluarga, sebagai Bapak, Sebagai Ibuk, Sebagai Kakak atau Sebagai Adik. Mungkin keterangan ini sedikit problamatis, karena bisa dijadikan bahan perdebatan yang cukup panjang antara Kaum Kreasionis dengan Kaum Evolusionis/Materialis. Tapi, untuk urusan nama, aku yakin kita akan sepakat dan sependapat.
Kita akan sepakat bahwa proses penamaan adalah bentuk paling awal dari ketidakbebasan seorang manusia. Kita, para bayi, tidak ada yang pernah ditanya nama apa yang mau kita pakai selama kita hidup. Padahal, Nama itu akan melekat dengan diri kita sendiri dan akan menjadi salah satu Identitas utama yang membentuk kita. Bahkan, nama itu pulalah yang akan tercatat dan terekam dalam basis data kependudukan serta akan kita gunakan sepanjang hayat untuk berbagai macam urusan. Meskipun demikian, nyatanya, setelah kita lahir, tanpa persetujuan kita, dengan otoriternya tiba-tiba saja kita sudah dipanggil dengan nama ini atau itu. Dari sini kita kemudian bisa bertanya, apakah mereka, para orang tua itu, tidak tahu bahwa nama yang mereka berikan kadang menjadi bahan ejekan di Sekolah? Atau, apakah mereka pura-pura tidak mengerti bahwa nama yang mereka berikan akan sangat menentukan apakah dalam Ujian Sekolah nanti anak mereka akan berada di bangku paling depan, tengah atau bangku paling belakang? Dan, tentu saja posisi bangku ini akan berpengaruh besar terhadap frekuensi detak jantung dan kepercayaan diri anak-anak mereka dalam mengerjakan soal ujian.
Kalau boleh menebak, sebenarnya, para orang tua itu sangat menyadari konsekwensi logis terkait penamaan terhadap bayinya. Mereka pernah melewati masa-masa yang belum pernah kita lewati. Mereka sudah pernah tumbuh dan berproses dari bayi sampai dewasa. Dengan pengalamannya itu, mereka seharusnya mau mempertimbangkan hak kebebasan kita, para bayi, untuk urusan penamaan ini. Tapi, ternyata, urusannya tidak sesederhana itu. Katakanlah misalnya para orang tua itu setuju untuk menyerahkan urusan penamaan pada kita, para bayi, dengan menunggu beberapa tahun sampai kita cukup punya kemampuan untuk mengusulkan nama atau paling tidak memberikan persetujuan terhadap nama yang diberikan oleh orang tua. Namun, sayangnya, aturan kependudukan yang berlaku dimanapun itu seolah lebih mendukung dan melegitimasi peran otoriter dari orang tua dalam proses penamaan ini. Aturan mengenai Pembuatan Akte Kelahiran, misalnya, seolah menganggap bahwa si Jabang Bayi tidak tahu apa-apa dan hanya orang tua nya lah yang tahu apa saja yang terbaik buat anaknya, termasuk untuk urusan penamaan ini.
Kadang, aku juga curiga, para orang tua itu bertindak otoriter dalam hal penamaan hanya untuk balas dendam saja. Supaya anak mereka ikut merasakan derita yang pernah mereka rasakan akibat nama yang diberikan oleh bapak ibuk mereka dulu. Yah, modelnya Seperti ospek di Kampus atau sekolah-sekolah kedinasan itu. Bisa saja, kan? Tapi, apapun itu, mau tidak mau aku harus mulai menerima kenyataan bahwa Bapak dan Ibuk ku pun juga telah bertindak otoriter dengan memberiku nama tanpa menanyakan persetujuanku terlebih dulu. Aku ingat, Saat itu, Setelah upacara Gunting Rambut pada hari ke tujuh kelahiranku telah selesai diselenggarakan, tiba-tiba saja Bapak mulai memanggilku Nuri, sedangkan Ibuk memanggilku dengan sebutan Ai. Bahkan, teman-teman sekantor Bapak juga ikut-ikutan bertindak Otoriter dengan memanggilku Kesh atau Kessy. Aduuhhhh, ucciiiinng pala Bayiii.
Sampai beberapa saat, pengetahuanku tentang nama yang diberikan bapak ibuk hanya terbatas pada kata Nuri, Ai, Kesh atau Kessy itu. Baru setelah teman-teman Bapak dan Ibuk mulai ribut menanyakan ihwal nama lengkapku beserta artinya sekaligus, sedikit banyak aku mulai akrab dengan Nama itu, Marin Keshwari Nurindraduhita. Kata Bapak, Marin merupakan Gabungan dari suku kata awal Nama Masyhari dan Rina. Marin sendiri secara etimologis artinya Laut atau Samudera, salah satu Karakter dari 8 Karakter Asta Brata yang ada Pada Kisah Pewayangan dengan Lakon Wahyu Sri Makutharama. Lakon Wayang Favorit Bapak. Menurut ajaran Asta Brata itu, Samudra atau Laut memiliki karakter yang dapat menampung dan memuat apa saja yang masuk ke dalamnya. Apapun, termasuk Sampah, Bangkai, dan segala Rupa kotoran-kotoran yang sering dipakai beberapa orang untuk mengumpat. Semua sampah, bangkai, dan kotoran itu, oleh Samudera diterima dengan sikap tulus tanpa pernah menggerutu.
Selain itu, luasnya Samudera yang terbentang hingga melampaui Garis Cakrawala menggambarkan keluasan Hati yang penuh dengan kesabaran, siap menerima berbagai keluhan, dan mampu menampung beban orang banyak tanpa keluh kesah. Samudera juga menggambarkan satu wujud air yang sangat luas, namun di dalamnya menyimpan kekayaan yang sangat bernilai dan bermanfaat untuk kehidupan manusia. Meskipun demikian, samudra tidak pernah memamerkan potensinya yang begitu besar kepada orang banyak. Samudra memendam semua kelebihan dan potensinya di balik kesederhanaan permukaannya. Samudera tidak pernah menyombongkan diri.
Sedangkan Keshwari, kata Ibuk, berasal dari Bahasa Jawa, Pasangan dari Kata Kuswara yang artinya Penyejuk Keluarga. Kata Keshwari ini sebanrnya punya makna yang hampir sama dengan Frase Qurrata A'yun yang berasal dari Bahasa Arab. Tapi, dengan berbagai pertimbangan, Ibuk lebih memilih kata Keshwari sebagai nama Putrinya.
Berbeda dengan Kehwari yang hanya berasal dari satu kata dan satu makna, istilah Nurindraduhita, kata Bapak, merupakan gabungan dari 3 Kata, yaitu Nur, Indra dan Duhita. Nur berasal dari bahasa Arab yang bermakna Cahaya, Indra adalah akronim dari Indonesia Raya, sedangkan Duhita berasal dari Bahasa Jawa Lama yang berarti Putri. Secara sederhana, makna dari Nurindraduhita kurang lebih adalah, Putri yang yang menjadi Cahaya untuk Indonesia Raya. Dari kata Nurindraduhita ini bapak kemudian mengambil nama Panggilan untukku, Nuri, yang berarti Cahayaku.
Begitulah, Meskipun aku tidak ditanya apakah aku setuju atau tidak dengan nama itu, paling tidak aku tetap bersyukur, karena nama yang diberikan Bapak Ibuk tidak berawalan dengan Huruf A. Kau tahu apa yang aku maksud, kan?
Sudah ah, aku Capek. Mau Mimi Susu dulu!

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Marin Keshwari Nurindraduhita"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel