Memimpikan Advokat "Veer-Zaara"
Gayus Tambunan kembali berulah, aktor yang terlibat dalam kasus Dana pajak dan Penyuapan Hakim Asnun ini diduga kabur dari rutan Brimob Kelapa Dua. Kepergoknya Gayus tidak terlepas dari peran seorang wartawan yang mengabadikan foto -yang diduga- gayus di acara Turnamen Tenis Internasional Bali di Nusa Dua. Akibat dari aksinya ini, Gayus kembali berhadapan dengan pihak berwajib dengan dakwaan baru berupa penyuapan. Menghadapi kasus ini, beberapa advokat yang tergabung dalam tim Pengacara Gayus, termasuk Adnan Buyung Nasution, tidak memasang badan seperti yang dilakukannya pada kasus awal Gayus sebelumnya. Tindakan tim pengacara ini semakin menegaskan perannya dalam menjernihkan dan menemukan kunci utama permasalahan yang konon melibatkan tokoh-tokoh utama negeri, tidak sekedar membela Koruptor seperti yang pernah disangkakan masyarakat.
Sedikit menengok kebelakang, saat pencalonan ketua KPK sedang hingar bingarnya diberitakan media, terlihat adanya penolakan yang cukup keras dari beberapa elemen masyarakat perihal pencalonan beberapa advokat yang diduga merupakan “titipan” Koruptor. Ini sebagai penanda bahwa Masyarakat masih concern dengan pemberantasan korupsi, masyarakat masih cukup sadar pentingnya penegakan hukum yang adil dan tidak berpihak
Dari dua gambaran di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa ada polarisasi pandangan (stigma) masyarakat mengenai Profesi Advokat dan Advokat itu sendiri. Secara sederhana, masyarakat menganggap advokat yang membela koruptor, atau Advokat Keblinger, sebagai aktor yang secara langsung menentang penegakan hukum yang sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh berbagai pihak, Advokat seperti inilah yang patut dicaci dan dipisuhi. Pandangan lain, sebagai negasi dari Pandangan Pertama, menegaskan adanya Advokat yang berjalan pada rel Shirothol Mustaqiem etika Profesi dan Moral Etik nya, Advokat seperti ini disebut sebagai Advokat Pener.
Polarisasi pandangan ini menurut penulis (Walaupun agak dipaksakan) tidaklah berlebihan, bahkan pandangan ini mencerminkan besarnya perhatian masyarakat terhadap peran Advokat dalam hal penegakan hukum. Sesuai dengan Teori Sistem Hukum yang diungkapkan Lawrence Friedman (1984), bahwa untuk mencapai suatu kondisi dimana Hukum dilaksanakan secara benar sehingga memberikan keadilan bagi masyarakat, diperlukan adanya perbaikan yang menyeluruh dalam 3 Unsur Sistem Hukum yang ada, yaitu Unsur Substansi Hukum, Struktur Hukum dan terakhir adalah Unsur Budaya Hukum. Apabila Substansi Hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan sudah mencerminkan keadilan, namun Struktur Hukum dan Budaya Hukumnya belum terbentuk secara benar, maka, tidak akan tercapai kondisi yang ideal. Begitu juga sebaliknya, apabila Struktur Hukum, dalam hal ini aparat penegak hukum termasuk Advokat, sudah berjalan sesuai dengan kode etik dan profesionalismenya, namun Budaya Hukum masyarakat belum terbentuk dan Substansi Hukum masih acak-acakan, tidak akan tercipta situasi yang tentram dalam masyarakat.
Membangun Struktur Hukum = Membangun Hukum
Berikan Aku Hakim yang baik, dengan Peraturan yang buruk sekalipun akan aku berikan keputusan yang adil – NN
Salah satu ungkapan terkenal yang penulis kutip di atas bisa dianggap sebagai negasi dari Teori Friedman mengenai Sistem Hukum dengan Harmonisasi dari 3 Unsur Sistem Hukum, yaitu Substansi Hukum, Struktur Hukum dan Budaya Hukum. Namun, ada baiknya, pertentangan tersebut tidak perlu diperdebatkan lebih lanjut, karena kalau ditelaah lebih dalam, Ungkapan di atas bisa dilihat secara positif sebagai Harapan akan keadilan dan kritikan terhadap buruknya peraturan (Substansi Hukum) yang ada.
Akan tetapi, ungkapan tersebut membawa kebenaran tersendiri. Walaupun terlihat sangat deterministik dengan pengutamaannya terhadap Struktur Hukum dalam suatu prinsip Keadilan, peran dari aparat penegak hukum memang sangat sentral. Dalam Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat diamanatkan bahwa Advokat memiliki status sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Maju mundurnya Hukum ada di tangan penegak hukum, apabila aparat penegak hukum keblinger, maka sebaik apapun hukum yang ada akan tetap dianggap buruk oleh masyarakat. Seperti hal nya Sebuah Pisau, dalam kondisi bebas Subyek, Pisau berada dalam keadaan Netral tanpa Nilai. Namun, ketika ada penetrasi kehendak subyek dalam penggunaan Pisau, maka Pisau tersebut bisa digunakan sebagai alat memasak (Pemotong Sayuran) yang sangat berguna bagi Subyek yang Pener, atau bahkan, untuk subyek yang keblinger, Pisau tersebut bisa disalahgunakan untuk membunuh dan menyayat orang, atau paling tidak melukai diri pengguna pisau tersebut.
Peran yang begitu penting dari Aparat penegak Hukum sebagai cerminan struktur hukum ini harus dibentuk dan dikelola dengan baik semenjak awal, semenjak proses pembelajaran. Oleh karena itu diperlukan adanya kurikulum atau sistem pengajaran hukum yang berorientasi tidak hanya pada pengetahuan hukum secara Positivistik Legalis, tetapi juga pengetahuan hukum secara sosiologis dan pemanatapan nilai-nilai, Etika, Moral dan profesionalisme aparat penegak hukum sebagai modal awal berkecimpung dalam dunia praksis.
Dengan terbentuknya pribadi penegak hukum yang baik, bisa diharapkan terbentuk pula sistem penegakan hukum yang baik pula, namun perkembangan ini harus pula diikuti dengan pembenahan-pembenahan dalam bidang substansi hukum dan budaya hukum yang ada.
Belajar dari Veer-Zaara
Beberapa waktu lalu penulis sempat menyaksikan sebuah Film India yang berjudul Veer-Zaara. Film ini berkisah tentang perjuangan seorang Pengacara perempuan Pakistan bernama Samiya Siddiq, yang berusaha membuktikan ketidakbersalahan seorang tahanan politik dari India dengan segala daya upayanya. Yang menarik, Kasus yang ditangani ini adalah Kasus pertamanya sebagai Advokat, namun dalam upaya Pioneer nya ini, Samiya harus berhadapan dengan Advokat Ulung yang sebelumnya pernah ‘Mendidik’ Samiya. Karena Samiya melihat kecurangan-kecurangan dalam setiap perkara yang ditangani oleh Advokat Ulung ini, yang menurut Samiya bertentangan dengan Moral etik Profesi dan hati nuraninya, maka Samiya memutuskan Keluar dari Kekangan Sang Advokat dan mencoba Berdiri Secara Mandiri untuk Membela Kemanusiaan.
Moral memang penting, bahkan karena pentingnya moral ini, beberapa profesi memasukkannya dalam suatu susunan baku kode Etik Profesi, untuk memberikan landasan sikap tindak dari pelaku profesi ini. Namun, adanya Kode Etik yang baik sekalipun tanpa diikuti oleh kesadaran yang tinggi dari pelaku profesi, kode etik tersebut tidak akan berlaku, hanya akan berbunyi ketika dibaca, gambaranyya tidak terlihat pada kenyataan.
Pengacara perempuan dalam Film Veer-Zaara memberikan contoh nyata mengenai sikap memegang teguh Nurani serta moral profesi yang dijalankannya. Film bukan hanya sekedar Film, seperti hal nya wayang, Film merupakan gambaran kehidupan manusia, angan-angan manusia yang diabstraksikan dalam sebuah skenario yang kemudian diperankan. Oleh Karena itu, tak ada salahnya kalau penulis memimpikan munculnya Samiya-Samiya lain dalam ranah penegakan hukum Indonesia beberapa tahun kedepan.
Fin.
Nb. Untuk Melengkapi Tugas ‘Aneh’ Kuliah TJP. Kenangan Unik, Dikerjakan Secara Asal, 20 Menit sebelum Deadline Pengumpulan Tugas. Lari-Lari Ke Kampus Psikologi untuk Mencetak Tugas berbekal uang 2000 Rupiah Hasil Ngutang Fikri. Haha. Suwun ya Fik …
0 Response to "Memimpikan Advokat "Veer-Zaara""
Post a Comment