Setetes Air Kekeluargan

Sebagai bentuk penghormatan terhadap Adiknya, Christa Mortenson, pada Medio Tahun 1993 lalu seorang Perawat dari Amerika yang bernama Greg Mortenson akhirnya memberanikan diri untuk mendaki puncak tertinggi kedua di dunia, Puncak Karakoram yang menjulang gagah di Himalaya. Namun, alih-alih berhasil menapakkan kakinya di Puncak tertinggi itu, pendakian Mortenson tersebut pada akhirnya malah berbuah celaka. Ia terperosok jatuh di sebuah tebing yang begitu terjal. Ajaibnya, nyawa Mortenson masih tertolong oleh penduduk lokal yang tinggal di seputaran wilayah itu. Dan dari sanalah, lembaran baru dari kehidupan Mortenson bermula. Karena hatinya tersentuh melihat kondisi pendidikan yang melingkupi kehidupan orang-orang yang telah menyelamatkannya itu, Mortenson akhirnya tergerak untuk kemudian berjuang mendirikan sekolah dan perpustakaan yang diperuntukkan khusus bagi para perempuan yang ada di sana. Perempuan-perempuan yang menurutnya tengah tercampakkan oleh keadaan, perempuan-perempuan yang ia pandang sedang terbelenggu dan terjajah oleh budaya patriarkhi yang begitu kuat dan mengakar erat.

Memang benar, pada awalnya usaha Mortenson itu tidak berjalan dengan mulus, karena ia harus berhadapan dengan banyak sekali rintangan yang ada. Akan tetapi, karena semangat dan kegigihannya yang luar biasa, hari ini Mortenson bisa tersenyum lega ketika melihat hasil dari jerih payahnya itu. Ya, Gunung telah mengantarkan Mortenson untuk menjemput Takdir Hidupnya. Takdir hidup menjadi Perawat paripurna, Perawat yang telah berjasa merawat “Asa” dan “Masa Depan” dari gadis-gadis atap dunia yang tengah tersandera oleh Keadaan. Dan akhirnya, karena dorongan dari beberapa rekan serta koleganya, perjalanan yang begitu menarik dari Greg Mortenson ini di Kemudian hari ia tuangkan dengan cukup menawan dalam sebuah buku yang berjudul, Three Cups of Tea.

Terlepas dari banyaknya keraguan mengenai kebenaran dari kisah Mortenson yang tertuang dalam buku Three Cups of Tea –nya itu, tetap saja buku itu merupakan salah satu dari sekian buku yang sampai saat ini mampu “membujuk” saya untuk terus dan terus berjalan. Berjalan melangkahkan kaki dari satu tempat ke tempat lain, dari satu gunung menuju gunung lain, demi menjemput Takdir Hidup yang entah Apa, atau Siapa.

Sampai suatu ketika, langkah kaki itu membuat saya terdampar di Linggarjati, di Pos Pendakian Gunung Ciremai yang, kata orang, Jalurnya Terjal; Mitosnya, Keramat; Airnya, terbatas. Hingga, sempat terbersit keraguan dalam hati, lanjut melangkah, ataukah harus berputar haluan untuk berbalik arah? Untungnya, ada satu pepatah Bugis yang masih terpatri secara mendalam dalam ingatan, “Sekali Layar terkembang, pantang biduk surut ke Pantai”. Maka, mau tidak mau, sekali kaki ini diayunkan, pantang untuk belok arah ke belakang. Dan ya, dari titik ini, dari ketinggian 600 mdpl ini, perjalanan menuju Puncak Gunung Tertinggi di Jawa Barat itu pun akhirnya dimulai .

Bersama 19 (Sembilan belas) kawan seperjalanan yang lain, saya mulai melangkahkan kaki meninggalkan Pos Linggarjati. Waktu itu, malam sudah condong menuju pagi. Kami melangkah dengan pelan menyusuri jalanan sempit beraspal menuju POS Pertama yang dinamakan Cibunar. Bagi saya, jalanan yang kami tapak malam itu terasa cukup berat. Mungkin itu hanya sugesti, mungkin juga tidak. Yang pasti, saya tidak menyukai jalanan beraspal. Karena setiap kali saya berjalan di atas jalanan berwarna Abu-Abu itu, tenaga saya jauh lebih cepat terkuras, sehingga saya harus berkali-kali menyeka peluh yang membasahi dahi. Akhirnya, ketika sampai di Cibunar, saya langsung rebahan di atas tanah karena lelah, dan tak lama kemudian saya sudah jatuh terlelap dibuai mimpi.

Pagi harinya, setelah mengguyur tubuh dengan air asli pegunungan yang ada di Cibunar, kami mulai berjalan menuju Puncak Ciremai. Target awal yang kami patok: bermalam di Pos Sangga Buana II, Summit ke Puncak Ciremai, lalu turun gunung lewat jalur Palutungan yang katanya lebih manusiawi daripada jalur Linggarjati. Sambil melangkahkan kaki, Saya coba amati wajah dari kawan seperjalanan saya satu persatu. Terlihat pancaran kepercayaan diri dan optimisme tinggi untuk mengejar target yang telah dicanangkan. Tetapi, apa yang terjadi kemudian ternyata berhasil membuyarkan semua rencana yang sudah disusun sejak jauh hari itu. Mulai dari gangguan terhadap lengan Imel, Cila yang tiba-tiba sakit, Vita yang terserang Dehidrasi, lengan Dhani yang terkilir, hingga persediaan air yang sudah sangat menipis, membuat rencana perjalanan kami menjadi berantakan. Akibatnya, Wajah yang awalnya cerah berubah menjadi kelabu, dan optimisme yang awalnya mencuat itu, berubah menjadi pesimisme akut yang membuat perjalanan kami terasa semakin berat.

Meskipun demikian,
kaki kami harus tetap melangkah,
melangkah,
dan melangkah.

Hingga, setelah beberapa jam berjalan, akhirnya kami sampai di Pos Bapa Tere. Saat itu matahari sudah condong menuju peraduan. Padahal, jarak yang harus ditempuh menuju Pos Sangga Buana II masih cukup jauh. Sehingga, mau tidak mau, kami harus mendirikan tenda dan memasak makanan diantara Pos Bapa Tere dan Pos Batu Lingga. Untungnya, kami menemukan tanah lapang yang agak luas yang bisa kami tempati. Satu hal yang patut disayangkan, di sini, kami melakukan kesalahan fatal yang bahkan tidak sempat kami sadari sebelumnya, dimana kami, dengan borosnya menghabiskan begitu banyak persediaan air minum. Sampai-sampai, dari Tiga Puluhan Botol air mineral besar yang kami bawa, hanya tersisa 4 Botol sebagai bekal untuk summit ke puncak sekaligus untuk Turun ke Bawah.

Dengan bekal 4 Botol Air mineral yang masih ada itu, esok harinya kami melanjutkan perjalanan menuju Puncak. Saat itu, rombongan terbagi menjadi beberapa kelompok. Eja memimpin rombongan dengan berjalan di depan. Sedangkan Saya tetap setia untuk berjalan di belakang, menjadi Sweaper. Baru beberapa langkah menapakkan kaki, Sakit Cila kambuh. Hebatnya, Tak ada keluhan yang keluar dari mulutnya. Dan lebih hebatnya lagi, Ia mencoba untuk tetap melangkah, melangkah, dan terus melangkah, meski dengan agak tertatih. Sampai ketika kami sampai di Pos Sangga Buana II, akhirnya Cila Ambruk. Tubuhnya sudah tidak kuasa lagi mengikuti arahan kemauannya untuk terus melanjutkan perjalanan.

Tak lama Kemudian,

untungnya,
Eja datang,

“Gue Sudah sampai Puncak”, Katanya, dengan sedikit berteriak.

Selesai mengambil nafas barang sejenak, Eja kami ajak berembuk. Dengan mempertimbangkan Kondisi Tubuh Cila yang sudah sangat lemah dan semakin melemah itu, akhirnya kami sepakat untuk Summit tanpa mengikutsertakan Cila. Cila pun menyetujui usulan itu. Asal, ada yang menemaninya di Sangga Buana II. Tanpa banyak pertimbangan, Eja langsung menyanggupi. “Implikasinya”, Kata Eja, “Kita harus turun lewat jalur Linggarjati.”

Kami yang ada di situ serempak menganggukkan kepala.

Sebelum kami meneruskan perjalanan menuju puncak Ciremai, kami putuskan untuk mendirikan tenda terlebih dulu, paling tidak agar Cila bisa beristirahat dengan aman dan nyaman. Dan setelah tenda selesai kami dirikan, perjalanan kami pun berlanjut. Baru beberapa menit menapakkan kaki, kami sudah disambut oleh Jalur bebatuan yang begitu terjal. Entah, sudah berapa tanjakan yang harus kami lalui sampai akhirnya kami tiba di Pos Pengasinan, yang pasti peluh kami tak henti-hentinya mengucur membasahi wajah. Dari Pengasinan menuju Puncak, Jalanan yang awalnya berbatu berubah menjadi jalanan berpasir yang begitu licin. Sehingga, perlu energi dan kewaspadaan ekstra untuk melalui jalur tersebut.

Saat itu, yang saya ingat adalah sepenggal ungkapan dari Ibuk saya yang ia ucapkan berulang-ulang, bahwa “Perjuangan dan Kesabaran akan selalu Berbuah dengan Manis”. Dan benar juga, ketika akhirnya kami sampai di Puncak Ciremai setelah bersusah payah menapakkan kaki sambil berpegangan pada bebatuan yang ada, Buah Manis itu akhirnya kami temukan dalam bentuk Hamparan Permadani Awan yang begitu Indah, Kawah melingkar yang begitu Eksotis, dan kebersamaan yang tidak ternilai.

Setelah Puas Merasakan keheningan di Puncak Ciremai, kami kembali turun menuju Sangga Buana II, menjemput Cila dan Eja untuk turun gunung bersama-sama. Akan tetapi, sewaktu kami sampai di Pos itu, Kondisi Cila masih terlihat begitu lemah, sehingga belum memungkinkan bagi Cila untuk berjalan turun sambil membawa Tas Carrier nya sendiri. Dengan mempertimbangkan kondisi Cila yang masih lemah itu, akhirnya saya dan Chandra bersepakat untuk berbagi beban. Beberapa Bawaan yang ada di dalam Tas Carrier Cila dikeluarkan untuk Kemudian ditaruh di dalam Carrier Chandra, sedangkan saya kebagian untuk membawa Carrier Cila beserta sisa bawaannya. Memang, awalnya agak repot untuk berjalan turun sambil membawa duaCarrier sekaligus, tetapi ketika sudah melangkah selama beberapa menit, akhirnya saya menjadi terbiasa. Setelah merasa nyaman dengan dua bawaan itu, saya putuskan untuk turun kebawah sambil berlari.

Selama perjalanan turun itu, sekali lagi rombongan kami terpecah menjadi beberapa kelompok kecil. Cila dan Chandra berjalan di depan, sambil tertatih. Disusul oleh Yoga, Indra, dan Oki. Di belakangnya, ada Dika, Farah, Vindy dan Didit. Agak jauh di belakangnya lagi, Suri, Mirzan, Dhani, Ludia dan Yudi menyusul dengan langkah pelan. Sedangkan Eja bersama Vita, Ilham, Rizki, dan Imel menjadi kelompok yang berjalan paling belakang. Walaupun ritme langkah kami berlainan, ada satu hal yang menyamakan kami, bahwa masing-masing dari kami tidak memiliki bekal air minum untuk turun, meskipun hanya setetes. Padahal, perjalanan yang harus kami tempuh untuk sampai di pos pendakian linggarjati masih sangat jauh. Karena itu, sewaktu saya berlari turun dan berpapasan dengan kelompok-kelompok kecil tersebut, saya melihat bahwa kondisi kami ternyata tidak jauh berbeda. Dengan Badan yang sudah sedemikian letihnya, semangat yang semakin menurun, dan persediaan air minum yang tanpa sisa, kaki-kaki kami seakan terasa memberat dan semakin berat untuk melangkah. Badan kami pun serasa Ogah untuk bergerak, dan tenggorokan kami seolah sedang tercekik karena kekurangan air.

Dengan kondisi seperti itu, sambil ditemani oleh Oki, saya tetap berusaha untuk berlari ke bawah. Sampai akhirnya, pada pukul 21.00 WIB, kami sampai di Pos Linggarjati. Di atas sana, beberapa kawan akhirnya menyerah. Menurut info yang saya dengar sewaktu berbincang dengan salah seorang petugas yang berjaga di Pos Linggarjati, beberapa Ranger yang ditugaskan untuk memberikan pertolongan dan membawa air ke atas menyarankan mereka untuk beristirahat di Pangalap. Karena kelelahan, mereka pun menurut.

Sama seperti kami, sebelum Mortenson Jatuh di Tebing-Tebing Terjal Karakoram, kondisinya juga sudah melemah karena medan yang ia tempuh memang sangat berat. Bedanya, kami selamat sampai tujuan. Sedangkan Mortenson akhirnya harus terperosok jatuh hingga ia harus sampai pada tujuan yang berbeda, tujuan yang sebenarnya tidak ia rencanakan dari awal. Tetapi, tujuan itulah yang akhirnya membawa Mortenson pada puncak kebahagiaannya. Ya, dari lemahnya kondisi tubuh dan akibat dari kecelakaan yang ia derita, akhirnya Mortenson bertemu dengan keluarga baru, dengan manusia-manusia luar biasa, dengan orang-orang yang mengantarkannya untuk menjemput takdir Hidup beserta Panggilan Hidupnya yang paripurna. Karena kesannya yang begitu mendalam terhadap orang-orang itu, sambil mengutip ungkapan yang ia dengar dari Haji Ali, Mortenson menulis dalamThree Cups of Tea, bahwa “The first time you share tea with a Balti, you are a stranger. The second time you take tea, you are an honored guest. The third time you share a cup of tea, you become family, and for our family, we are prepared to do any­thing, even die.”


Memang benar, Bongso Mowo Coro, Negoro Mowo Toto. Setiap Bangsa memiliki aturan dan adat istiadatnya sendiri. Bagi Mortenson, rasa kekeluargaan yang ia temukan setelah tragedi kecelakaan di Karakoram itu, harus dibangun terlebih dahulu melalui beberapa tahapan yang ia simbolkan lewat tata cara minum teh yang, bahkan, harus sampai pada Tegukan Cangkir Ketiga. Tapi, kami tidak perlu berlama-lama sampai harus minum tegukan ketiga atau bahkan cangkir ketiga untuk mengikatkan diri menjadi keluarga, seperti pengalaman Mortenson itu. Karena bagi kami, lewat setetes air saja, ikatan kekeluargaan itu sudah terbentuk dan terjalin. Ya, bukankah Ikatan itu akhirnya terjalin ketika tenggorokan kering kita sama-sama merindukan sentuhan mesra dari Setetes Air? Haha. Wallahu a’lam.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Setetes Air Kekeluargan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel