Batu Legur : Tragedi Cinta Dayak Sekayam
Banyak Kisah Agung karya besar pujangga Dunia yang bertemakan Cinta Terlarang. Ambil contoh Tragedi Cinta Qais dan Laila karangan Nizami Ganjhavi dalam Magnum Opus nya ‘Laila Majnun’, Devdas dan Paro, Romeo dan Juliet, Sam Pek dan Eng Tay, ataupun kisah lokal (riil) yang diceritakan kembali semacam Pronocitro dan Roro Mendut, Hayam Wuruk dan Dyah Ayu Pitaloka, maupun Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Deretan ini akan bertambah semakin panjang jika disertakan pula kisah Pabelan – Sekar Kedaton, Tragedi Putri Sunan Muria, dan banyak kisah lain yang tak (belum) terungkap, termasuk Kisah Batu Legur (Batu Kutukan) ini.
Tidak seperti kisah-kisah lain yang cukup ‘beruntung’ bisa dibukukan atau bahkan di Film kan hingga memudahkan masyarakat luas untuk mengenal dan mengetahuinya, sejauh pengetahuan saya, belum ada artikel, buku atau bahkan film satupun yang membeberkan kisah ini, Batu Legur seolah teralienasi dari modernitas dunia.
Oleh Karena itu, tanpa adanya teks tertulis ataupun keterangan-keterangan dalam mode lain seperti yang saya sebutkan di atas, cukup mustahil bagi saya untuk bersentuhan dengan kisah Batu Legur ini, tapi ternyata saya cukup beruntung. Ketika mengikuti acara Gawai Dayak Kabupaten Sanggau 2010 yang diselenggarakan di Kompleks Keuskupan Katolik, cerita ini dipentaskan oleh Tim Tari Kecamatan Sekayam sebagai ‘Roh’ Cerita dalam Perlombaan Tari Kreasi Gawai Dayak dengan Nomor urut #1. Itulah awal mula perkenalan saya dengan Batu Legur.
Batu Legur Dalam ‘Baju’ Tarian Kreasi
Tarian yang dibawakan oleh Kontingen dari Kecamatan Sekayam ini, diluar Kisah Batu Legur-nya, menurut saya cukup bagus, Penarinya Ekspresif dengan gerakan yang sangat Luwes dan terlihat menguasai Panggung. Secara tekhnis, ada 7 Penari dengan komposisi 6 Penari Perempuan dan 1 Penari Laki-laki. Untuk Penari Perempuan, pakaian yang dikenakan didominasi oleh warna merah dengan motif unik berwarna Hitam, Celana Hitam ditambah satu aksesori berupa Bandana yang terbuat dari Manik-manik beraneka warna. Sedangkan penari Laki-laki mengenakan Celana Pendek Hitam (dalam Tradisi Dayak disebut sebagai Cawat) dan Kain merah dengan sabuk merah yang melingkar di pinggul dengan motif Khas Dayak. Selain itu, penari laki-laki juga mengenakan Bandana merah sederhana yang terbuat dari Kain.
Dari penampilan Tim Tari Kecamatan Sekayam tersebut, ditambah dengan sedikit narasi yang diucapkan oleh Narator sebelum tarian dimulai, bisa saya sarikan kisah Batu Legur ini sebagai berikut :
Dahulu Kala, di Tepi Sungai Sekayam (Sekarang Masuk dalam Wilayah Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Melewati beberapa Kecamatan, termasuk Kecamatan Entikong), tinggallah dua orang kakak-beradik yang bernama Wak Siteng Dan Domia, kehidupan diantara keduanya dengan masyarakat sekitar berlangsung secara Normal sampai suatu ketika mereka berdua terlibat Cinta terlarang. Kehidupan mereka berubah drastis, tragedipun terjadi, cinta yang mereka anggap Suci dan benar ternyata bertentangan dengan adat budaya masyarakat yang tidak memperkenankan adanya Cinta Terlarang antara Laki-laki dengan perempuan yang terikat oleh hubungan Kakak Beradik dalam sebuah Lembaga Pernikahan.
Akibat hubungan ini, Kampung Sekayam bergejolak, Penduduk sekitar yang ingin menjaga normalitas kehidupan, terlebih-lebih karena takut terkena Bala/Bencana dari Tuhan, berniat memisahkan Wak Siteng dengan Domia. Akhirnya, Wak Siteng diusir keluar dari Kampung meninggalkan Domia dalam kesendirian. Kesendirian yang dirasakan Domia mengantarkannya berkenalan dengan Kesedihan dan Tangisan, sehari-hari wajah Domia terlihat muram tanpa asa. Melihat kehidupan Domia yang berubah Drastis dan penuh dengan kemurungan ini, timbullah rasa iba di hati masyarakat kampung Sekayam. Mereka berencana menghibur kegundahan hati Domia, dan sebagai realisasinya, penduduk sekitar menggelar pertunjukan Tari-Tarian.
Hari Pelaksanaan Pertunjukan pun tiba. Benar, ada perubahan drastis yang dialami oleh Domia. Di tengah pertunjukan tari tersebut, Wak Siteng tiba-tiba datang karena dorongan kerinduan yang sangat mendalam terhadap Domia. Melihat kedatangan Wak Siteng, Domia terlihat sangat gembira, namun kegembiraan tersebut tidak bertahan lama. Penduduk yang masih merasa takut akan adanya Bala/Bencana jika tetap membiarkan adanya Cinta Terlarang antara Kakak dengan Adik dalam lingkup kehidupan sosialnya, sekali lagi memisahkan keduanya. Namun, Wak Siteng dan Domia untuk kali ini tidak tinggal diam dan akhirnya memberikan perlawanan, mereka tidak terima dengan kesewenang-wenangan masyarakat yang notabene tetangga mereka sendiri. Wak Siteng dan Domia memutuskan untuk Pergi ke Rumah Tempa (Sebutan untuk Dukun atau Pimpinan Adat dalam Tradisi Masyarakat Dayak Iban) demi meminta Restu dan persetujuan. Namun, diluar perkiraan, Sang Tempa sama sekali tidak memberikan Restu terhadap hubungan Terlarang mereka, beliau memberikan Nasehat supaya Wak Siteng dan Domia mengakhiri hubungan cinta keduanya karena nyata-nyata telah menyalahi adat tradisi kampung Sekayam. Mendengar Nasehat tersebut, Wak Siteng dan Domia tetap bergeming dan tetap akan memegang teguh janji setia percintaan mereka. Melihat sifat keras kepala mereka berdua, Sang Tempa mengeluarkan Kutukannya, dan akhirnya Wak Siteng dan Domia berubah Menjadi Batu.
Batu Legur melawan Individualitas Diri
Hampir seperti Tragedi Cinta lain, Kisah Batu Legur juga berakhir dengan adegan ‘Sad Ending’, dimana Wak Siteng gagal bersanding dengan Domia sebagai pasangan Kekasih. Namun Sebaliknya, bagi masyarakat Sekayam, Kisah Batu Legur ini berakhir ‘Happy Ending’ karena Eksistensi Budaya yang mengikat Kehidupan Sosial Masyarakat tidak tercederai.
Satu hal yang cukup unik, dalam tradisi Folklore masyarakat Indonesia, beberapa Cerita Tradisional yang bertemakan Cinta Terlarang menekankan adanya ‘Incest Taboo’, seperti hal nya Tangkuban Perahu-nya Sangkuriang-Dayang Sumbi maupun Batu Legur-nya Wak Siteng-Domia. Menurut Sam Vaknin (2008), Hubungan ‘Incest’(Seks dengan Hubungan Darah dalam Derajat Pertama) sama hal nya dengan berhubungan badan dengan diri sendiri, sehingga hal ini bisa dikatakan sebagai Tindakan Narsis, dan seperti tindakan Narsis lain, maka yang dipentingkan adalah diri sendiri. Selanjutnya, Vaknin menyatakan bahwa orang Narsis, dalam hal ‘incest’ tak pernah mampu melihat eksistensi/nilai yang ada pada pasangannya, karena yang ada hanyalah dirinya. Penekanan terhadap “incest taboo” ini menemukan relevansinya dengan budaya Indonesia yang (sebagian Besar) menegaskan adanya Penghargaan terhadap Liyan dimana Harmonisasi Kehidupan antara Aku dan Kamu sangat dijunjung tinggi, oleh karena itu ‘Incest’ sangat diharamkan. Wallahu a’lam
0 Response to "Batu Legur : Tragedi Cinta Dayak Sekayam"
Post a Comment