Arrum yang Harum: Sebuah Obituari

Di atas sana, Gapura Kampung Cioray yang menjadi tujuan bersepeda kami sudah terlihat dengan jelas. Tersisa satu tanjakan lumayan terjal untuk mencapainya. Haji Arrum, dengan semangat yang menggebu-gebu, terlihat tengah memacu sepeda jingganya ke atas. Baru sampai pertengahan jalan, tiba-tiba ia menghentikan laju sepeda dan turun dari sadelnya. Tak disangka, tubuh Haji Arrum langsung rubuh ke jalan dengan kondisi tak sadarkan diri.

Kejadian mendadak yang menimpa Haji Arrum itu tentu saja sangat mengejutkan kami, mengingat dalam waktu yang belum terlalu lama, kami masih bertukar canda tawa di lapak darurat yang kami gelar di pinggir jalan. Saat itu, setelah menempuh tanjakan demi tanjakan di bawah teriknya sinar matahari yang begitu menyengat, kami memutuskan untuk menepi dan beristirahat barang sejenak sekadar untuk memulihkan tenaga sambil menyeduh kopi dan menikmati martabak manis seharga tiga ribuan perak yang sebelumnya kami beli di Pasar Tajur.


Dengan antusias, Haji Arrum ikut melahap martabak yang tersaji di depannya. Dua potong martabak langsung tandas masuk ke perut pesepeda yang kerap dipanggil wak haji ini. Tak berselang lama, ia pun menenggak air hangat dari cangkir kecil bertuliskan Depok Urban Track yang biasa ia pakai untuk meracik kopi. Memang, akhir-akhir ini, Haji Arrum terlihat lebih memilih untuk minum air hangat dibanding mengkonsumsi kopi seperti biasanya. “Karena alasan medis.”, ungkap haji Arrum kepada kami sambil tertawa.

Setelah cukup lama beristirahat, kami pun kembali mengayuh pedal sepeda untuk menapaki tanjakan Cioray yang masih tersisa. Sampai pada tanjakan akhir sebelum gapura, sekira pukul 11.00 WIB, terjadilah tragedi yang tidak pernah kami bayangkan itu. Di tengah rasa panik yang mendera, Om Joe langsung berinisiatif untuk memberikan pertolongan pertama pada tubuh Haji Arrum yang ambruk di jalan. Seolah berpacu dengan waktu, Berkali-kali Om Joe berusaha melakukan kompresi dada (RJP/CPR) dengan sesekali memberikan nafas buatan. Sayangnya, tak ada perkembangan yang berarti. Tubuh Haji Arrum masih terkulai lemas tak sadarkan diri. Rasa cemas kami pun semakin menjadi-jadi, apalagi mobil penyelamat yang berhasil dikontak Rizky belum terlihat tanda-tanda kedatangannya.

Tak terhitung sudah berapa lama kompresi dada dilakukan dan sudah berapa kali nafas buatan diberikan, di tengah rasa panik dan cemas yang semakin menggelayut, tiba-tiba muncul mobil lawas berukuran kecil dari balik gapura Cioray. Kami bergegas menghentikan mobil itu untuk meminta bantuan. Untungnya, pengendara mobil yang belakangan saya ketahui bernama Haji Endin itu menyanggupi untuk membawa tubuh lunglai Haji Arrum menuju fasilitas kesehatan terdekat demi mendapatkan penanganan lebih lanjut. Karena keterbatasan ruang yang ada, hanya Om Joe yang akhirnya menemani Haji Arrum di dalam mobil. 

Disertai tatapan nanar kami, mobil yang membawa tubuh Haji Arrum itu pun bergerak menjauh. Di dalam sana, Om Joe masih belum mau mengibarkan bendera putih. Ia terus berusaha melakukan kompresi dada demi menjaga agar jantung Haji Arrum tetap berdetak, meskipun lemah. Tak berselang lama, kami berenam sebagai rombongan yang tersisa, akhirnya menyusul dengan menumpang mobil bak terbuka yang awalnya diniatkan untuk dipakai mengevakuasi Haji Arrum itu. Sepanjang perjalanan kami hanya bisa diam membisu, sambil berharap agar Haji Arrum bisa terselamatkan. 

Memang, harapan itu terkadang seperti permainan dadu. Ada unsur pertaruhan di sana. Setelah dadu dilempar, kita tidak pernah tahu hasil apa yang akan didapatkan, sampai ketika dadu itu menyentuh lantai dan menunjukkan angka tertentu. Kadang, kita ingin angka dua atau lima. Tapi, sayangnya, hasil lemparan dadu malah menunjukkan angka-angka lain yang berbeda. Begitu pun dengan harapan. Apa yang diinginkan dan diimpikan mungkin saja berkebalikan dengan apa yang akhirnya didapat. Meskipun demikian, tak ada salahnya untuk tetap berharap. Karena selalu ada peluang untuk menang, selalu ada peluang untuk mendapatkan hasil akhir seperti apa yang diinginkan, meskipun kecil. Seperti ungkapan Schiller yang sering dikutip oleh Sjahrir, bahwa hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan. 

Sayangnya, hari itu, kami kalah bertaruh. Harapan-harapan yang kami bangun dan kami rawat untuk keselamatan Haji Arrum akhirnya hancur lebur dipukul kenyataan. Karena ketika sampai di klinik yang dituju, kami langsung disambut oleh tubuh Haji Arrum yang sudah terbujur kaku di atas ranjang. Ya, hari itu, tanggal 22 Maret 2023, tepat satu hari sebelum Puasa Ramadhan, Haji Arrum dinyatakan pergi untuk selamanya, di usianya yang baru menginjak setengah abad.

Dalam rentang waktu usia hidupnya yang membentang selama 50 tahun itu, khususnya selama satu dekade terakhir, Haji Arrum memang tidak pernah lepas dari sepeda. Haji Arrum dan Sepeda layaknya dua entitas yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hubungan keduanya Ibarat dua sisi koin logam. Tak ada yang bisa menyangkal betapa cintanya Haji Arrum dengan Sepeda. Sekian jenis sepeda telah ia koleksi. Banyak tempat sudah ia jelajahi. Belasan bahkan puluhan komunitas ia kunjungi. Dan, tidak terhitung sudah berapa banyak orang yang ia sambangi. Sampai-sampai, saking intensnya ia menyambung tali persaudaraan antar pesepeda, nama Arrum menjadi terkenal ke seantero negeri. 

Terlepas dari semangatnya yang menyala-nyala untuk menyambung tali persaudaraan itu, secara personal Haji Arrum juga terkenal sebagai pribadi yang baik dan ramah. Tak percaya? Lihatlah betapa banyak orang yang menunjukkan ekspresi kehilangan karena kepergiannya. Lihat juga betapa banyak dan ramainya jama’ah yang ikut mendoakan dan mengantarkan Haji Arrum secara langsung menuju pusara. Belum lagi orang-orang yang merapalkan doa dari tempatnya masing-masing yang entah berapa jumlahnya.

Buat saya sendiri, selain kebaikan dan keramahannya itu, salah satu sifat lain yang menonjol dan begitu saya kagumi dari Haji Arrum adalah rasa tanggung jawabnya yang sangat besar. Khususnya, tanggung jawabnya terhadap komunitas Federal Depok atau FEDE yang selama ini ia besarkan sekaligus telah membesarkan namanya. Dalam beberapa kali obrolan, Haji Arrum sering berujar, “FEDE itu komunitas sepeda. Orang Gabung sama FEDE ya tujuannya buat sepedahan. Makanya, FEDE harus bikin acara Gowes bareng secara rutin, supaya orang-orang itu tidak merasa kecewa.” 

Ungkapan Haji Arrum itu hanya bisa keluar dari mulut seseorang yang mempunyai sense of belonging atau rasa memiliki yang tinggi terhadap komunitas tempat ia bernaung. Rasa memiliki ini biasanya ditandai dengan adanya kepedulian dan motivasi yang tinggi untuk memberikan kontribusi terbaik bagi kelangsungan komunitasnya. 

Haji Arrum, tentu saja, tak mau berhenti sampai di situ saja. Tak hanya sekadar peduli, tak hanya sekadar menyampaikan keresahan dan melontarkan ide-ide belaka, lebih dari itu Haji Arrum ingin bergerak lebih jauh untuk mewujudkan ide-idenya itu. Seperti tak kenal lelah, berkali-kali Haji Arrum menginisiasi kegiatan Bersepeda Bareng untuk menggairahkan kembali semangat kawan-kawan FEDE, agar mereka dapat terus merasakan keberadaan FEDE sesuai Khittahnya sebagai Komunitas Sepeda. Dan ya, Inilah perwujudan dari rasa tanggung jawab atau sense of responsibility nya Haji Arrum terhadap FEDE. 

Untuk menjaga keberlangsungan agenda bersepeda bareng itu, Haji Arrum kemudian menciptakan sebuah support system dengan membentuk kelompok kecil layaknya “lembaga think tank” bernama Plan Next Trip atau PNT dan Bike Camp Lover atau BCL. PNT ditujukan untuk mewadahi para penggiat sepeda dengan sistem one day trip alias berangkat pagi pulang malam. Sedangkan BCL merupakan wadah bagi mereka yang hobi bikecamp atau bersepeda sambil kemping. Dengan sedikit bercanda, Haji Arrum seringkali menyebut PNT dan BCL ini sebagai sub chapter dari FEDE. Candaan Haji Arrum itu disampaikan bukan tanpa alasan. Selain karena orang-orang yang terlibat di dalam PNT dan BCL kebanyakan adalah anggota FEDE, penyebutan PNT dan BCL sebagai Sub Chapter FEDE juga menunjukkan betapa besar kecintaan Haji Arrum terhadap FEDE. Sampai-sampai, mau kemanapun Haji Arrum pergi atau di manapun ia berada, Haji Arrum tak pernah bisa melepaskan diri dari FEDE. 

Saya selalu percaya bahwa dalam berorganisasi (apapun bentuknya: e.g komunitas, ormas, atau bentuk lain), ada dua parameter utama yang dapat digunakan untuk menilai kapasitas dan tingkatan seseorang (selain kemampuan manajerial tentunya), khususnya untuk orang-orang yang memiliki peran dalam menjalankan roda organisasi itu. Tingkatan pertama adalah mereka yang mempunyai rasa memiliki terhadap organisasinya. Sedangkan tingkatan di atasnya adalah mereka yang memiliki rasa tanggung jawab dan mengimplementasikan tanggung jawabnya itu dalam setiap gerak laku hidupnya.

Dengan semua kontribusi yang sudah ditunjukkan Haji Arrum selama ini, ditambah pula dengan semua ragam sifat baik yang melekat pada dirinya, tentu saja tak ada tingkatan yang paling layak untuk disematkan kepadanya selain tingkatan paling atas. Kontribusi-kontribusi positif dari Haji Arrum itu juga yang pada akhirnya membuat nama Arrum menjadi harum dan akan terus dikenang. Bukan kebetulan pula kalau dalam bahasa jawa, istilah Arrum atau Arum juga memiliki arti wangi atau harum. Karena itu, tak berlebihan kiranya kalau dibilang bahwa Haji Arrum adalah salah satu contoh dari seorang manusia yang namanya mampu mendefinisikan nilai dan rupa dirinya. Seakan-akan, nama Arrum merupakan self-fulfilling prophecy atau ramalan yang akhirnya menjadi kenyataan. Ramalan yang membimbing Haji Arrum menuju pencapaian hidup yang selaras dengan nama yang ia sandang: Arrum yang Harum.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Arrum yang Harum: Sebuah Obituari"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel